Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

November Defisit Dagang Rp 29,7 Triliun: Menkeu Sebut Pengaruh Global

Neraca perdagangan Indonesia pada November 2018 kembali mengalami defisit. Nilainya mencapai 2,05 miliar.

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
SHUTTERSTOCK
Import ilustrasi 01 

Dari sisi impor, pemerintah akan melakukan kajian lebih mendalam atas kebijakan pengurangan impor yang sudah diterbitkan, seperti peningkatan tarif PPh impor.

"Untuk sektor lain, migas dan nonmigas harus tetap perhatikan kemampuan industri dalam negeri untuk menghasilkan subtitusi, jadi kita tetap fokus dalam porsi itu," tambah Sri Mulyani.

Ia memastikan upaya pengelolaan sektor perdagangan ini harus diupayakan untuk menahan pelebaran defisit neraca transaksi berjalan yang saat ini telah mendekati tiga persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Aktivitas ekspor
Aktivitas ekspor (Daily Star)

Defisit Tertinggi dengan Tiongkok

Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mengurangi defisit neraca perdagangan? Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto meminta agar pemerintah lebih gencar mengendalikan impor dan menggenjot ekspor.

"Januari hingga November defisit 7,52 miliar dolar AS (setara Rp 109 triliun). Penyebabnya tidak berbeda, yaitu defisit di sektor migas 12,21 miliar dolar AS sementara nonmigas surplus 4,6 miliar dolar AS," ujar Suhariyanto, di Kantor BPS, Jakarta, Senin (17/12)

Dalam pemaparannya, pada November 2018, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus terhadap beberapa negara. Neraca perdagangan dengan India mengalami surplus sebesar 8,07 dolar AS miliar, terhadap Amerika Serikat surplus 7,8 miliar dolar AS, dan Belanda surplus 2,42 miliar dolar AS.

"Sebaliknya dengan Tiongkok, kita defisit cukup dalam yaitu 18,14 miliar dolar AS, Thailand defisit 4,7 miliar dolar AS, dan Australia 2,82 miliar dolar AS," ungkapnya. Untuk menekan defisit neraca perdagangan tersebut, Suhariyanto mengharapkan program pemerintah dalam mengatasi defisit dapat segera direalisasikan.

"Kita berharap yang sudah ditetapkan pemerintah akan lebih terimplementasi. Karena butuh waktu untuk mengejar ekspor, karena butuh diversifikasi pasar, produk yang kompetitif dan menurunkan biaya logistik," pungkasnya.

Sedang Bank Indonesia mendorong berlanjutnya insentif dan upaya maksimal untuk meningkatkan nilai ekspor. "Ekspor-impor barang jasa masih jadi perhatian. Maka kita perlu mendorong aktivitas ekspor. Insentif untuk ekspor perlu diterbitkan, perlu ditelurkan," kata Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara di Museum BI, Jakarta, Senin.

Mirza menilai pemerintah dalam beberapa waktu terakhir sebenarnya sudah mengeluarkan banyak kebijakan untuk mendorong ekspor dan mengendalikan impor.

Misalnya, kerja sama perdagangan Indonesia dengan Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (European Free Trade Association/EFTA) dalam konsep perjanjian ekonomi komprehensif (CEPA) yang baru diteken akhir pekan lalu.
"Sekarang bagaimana terjadi sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan juga kalangan bisnis," ujarnya.

Disinggung mengenai kemungkinan defisit perdagangan November 2018 ini akan membuat defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit) kembali meningkat dan berpotensi melampaui target BI tahun ini, Mirza belum menjawab spesifik.

"Pokoknya pada 2019, defisit transaksi berjalan ke 2,5 persen PDB," katanya. Pada akhir 2018, BI menargetkan defisit transaksi berjalan tidak melebihi tiga persen Produk Domestik Bruto (PDB). Hingga kuartal III 2018, secara kumulatif, defisit neraca transaksi berjalan 2,86 persen PDB.

"Kami juga dorong ekspor dan pariwisata, agar defisit transaksi berjalan tahun depan bisa turun ke 2,5 persen PDB seperti target," ujar dia.

Pada 18-19 Desember 2018 lusa, BI akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) untuk menentukan arah kebijakan terbaru Bank Sentral. (tribunnetwork/bri)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved