Ballon d Or 2018
Kisah Luka Modric, Anak Pengungsi di Zona Perang yang Kini Jadi Pesepakbola Terbaik di Planet Bumi
Kisah Luka Modric, anak pengungsi di zona perang yang kini jadi pesepakbola terbaik di planet bumi
TRIBUNMANADO.CO.ID - Setelah meraih pemain terbaik dunia, pencapaian pesepak bola Kroasia kini lengkap sudah, Luka Modric, tahun ini setelah dirinya meraih penghargaan Ballon d'Or 2018.
Baca: Inilah 3 Pemain yang Lebih Pantas Meraih Ballon dOr Daripada Luka Modric
Penghargaan ini menobatkan Modric sebagai pesepak bola terbaik di muka Bumi untuk tahun 2018.
Membawa klubnya Real Madrid menjuarai Liga Champions 2018 serta membawa negaranya, yang tidak diprediksi sama sekali, menjadi finalis Piala Dunia 2018, merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan Modric.
Keberhasilan Modric juga memutus rantai panjang dominasi Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, yang secara bergantian mendapat predikat sebagai pesepak bola terbaik sejagat sejak 2008.
Bagi Modric, ini adalah momen yang tak akan pernah ia lupakan. Sebab, ia dulunya hanya seorang anak pengungsi.
Dilansir dari theguardian.com, gelandang Real Madrid berusia 32 tahun ini mengalami masa kecil yang brutal sebagai pengungsi.
Baca: 5 Alasan Lionel Messi Gagal Meraih Ballon dOr 2018
Saat itu, Modric masih berusia enam tahun.
Lalu kakek kesayangannya ditembak mati oleh militan Serbia, ia dan keluarga dipaksa untuk hidup sebagai pengungsi di tanah airnya yang dilanda perang (perang Balkan).

Pada tanggal 8 Desember 1991, selama Perang Balkan, militan Serbia yang ganas menyerbu Modrici, sebuah desa kecil di dekat pegunungan Velebit di Dalmatia utara dan menembaki keluarga Kroasia yang tidak melarikan diri.
Salah satu dari mereka yang terperangkap dalam baku tembak adalah Luka Modric Snr, yang sedang menyusuri ternaknya di jalan.
Lalu dia terpojok oleh sekelompok orang Serbia yang secara brutal mengeksekusinya bersama dengan lima penduduk setempat lainnya.
Kejadian itu menghancurkan jiwa Modric.

Sebab dia dibesarkan oleh Luka Modric Snr sementara orangtuanya, Stipe dan Radojka, bekerja berjam-jam di pabrik rajut untuk membantu keuangan keluarga.
Setelah kejadian itu, orangtuanya terpaksa meninggalkan Modrici dan mereka mencari perlindungan di Hotel Iz di kota Zadar.
Tanpa listrik atau air yang mengalir, bunyi granat dan peluru menjadi makanan sehari-hari bagi Modric kecil dan saudara perempuannya, Jasmina. Belum lagi mereka menghindari ranjau darat yang berpotensi terkubur di setiap sudut jalan.