Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Berita Internasional

Pakistan Jadi Negara dengan Jumlah Aborsi Tertinggi di Dunia, Hal Ini Penyebab Utamanya

Sebenarnya, ketika hamil untuk kelima kalinya, Mehnaz panik. Sempat dia sudah memiliki empat anak perempuan.

Editor: Aldi Ponge
Newsweek
Ilustrasi Aborsi. 

Prosedur ini "legal hanya dalam keadaan yang sangat terbatas”, catat Guttmacher Institute.

Padahal seperti yang kita tahu, aborsi sangat berbahaya bagi kesehatan wanita. Sebab, tidak hanya nyawa bayi yang bisa melayang, namun juga nyawa ibunya.

Terlebih lagi, rumah sakit umumnya menolak melakukan aborsi karena sebagian besar dokter percaya itu ilegal.

Baca: Berpengalaman, Adriana Dondokambey Dinilai Mampu Benahi Pendidikan di Sulut

“Karenanya beberapa wanita yang ingin melakukan aborsi memilih melakukannya sendiri,” kata Xaher Gul, seorang ahli kebijakan kesehatan publik.

Namun Gul menjelaskan dokter baru mau melakukan aborsi hanya dalam kasus mendesak. Seperti aborsi yang wanita tersebut lakukan belum selesai.

Balik ke alasan mengapa wanita Pakistan mau melakukan aborsi.

Beberapa wanita Pakistan, seperti Mehnaz, akan menggugurkan janin jika mereka takut mereka melahirkan seorang anak perempuan.

Sebab, anak perempuan dapat dilihat sebagai beban ekonomi. Tapi itu bukan satu-satunya alasan.

Wanita Pakistan sebagian besar mencari aborsi karena mereka tidak tahu tentang alat kontrasepsi atau tidak dapat mengakses alat kontrasepsi yang baik.

Menurut Zeba Sathar, Direktur Population Council Pakistan, sebagian besar wanita yang melakukan aborsi adalah wanita yang menikah, miskin dan sudah memiliki anak.

Tercatat, hanya 30 persen wanita usia subur yang menggunakan kontrasepsi modern, menurut laporan U.N. tahun 2017.

"Kami menemukan bahwa sebagian besar wanita yang melakukan aborsi sudah memiliki lebih dari tiga anak atau mungkin paling banyak lima," kata Sathar.

"Mereka hampir semuanya, 90 hingga 95 persen, sudah menikah. Mereka juga lebih lebih tua dan mereka cenderung lebih miskin atau kurang berpendidikan."

Belum lagi rendahnya kebijakan keluarga berencana.

Dulu, keluarga berencana adalah pekerjaan pemerintah federal, tetapi persetujuan untuk kebijakan nasional tidak jelas selama bertahun-tahun.

Sumber: Grid.ID
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved