Dahsyatnya Letusan Gunung Krakatau 1883, Sebabkan Hujan Batu Apung Cukup Deras di Teluk Betung
Sebetulnya letusan itu tidak datang tiba-tiba, tetapi tidak ada orang yang mengira bahwa ledakan akan demikian hebat.
Api Santo Elmo
Tujuh kali berturut-turut halilintar menghantam tiang utama. Dengan rentetan letupan gemertak geledek itu kadang-kadang seperti bergantungan di atas kapal, yang diterangi cahaya mengerikan.
Alat pemadam kebakaran disiapkan di geladak, sebab nakhoda khawatir setiap waktu Loudon akan terbakar.
Kecuali halilintar, kami juga menyaksikan gejala alam. Aneh lainnya, yakni apa yang disebut api Santo Elmo. Di atas tiang kapal berkali-kali terlihat nyala api kecil-kecil berwarna biru.
Kelasi-kelasi pribumi mendaki tiang untuk memadamkan 'api' itu, tetapi sebelum mereka sampai ke atas gejala itu telah lenyap kemudian terlihat pindah ke tempat lain.
Api biru yang berpindah-pindah itu sungguh merupakan pemandangan yang menyeramkan dan membangunkan bulu kuduk.
Antara badai dan ombak besar kami mengalami saat-saat tenang. Tiba-tiba saja semuanya menjadi sunyi senyap dan laut pun licin seperti kaca.
Tetapi sepi yang tak wajar ini lebih mencekam daripada gegap gempita ombak dan topan yang harus kami alami.
Tak terdengar suara lain, kecuali keluh kesah dan doa para penumpang Indonesia di geladak depan, yang yakin bahwa ajal mereka segera akan sampai.
Akhirnya pada malam menjelang tanggal 28 kami melihat sekelumit cahaya membersit di langit!
Seberkas sinar bulan pucat berhasil menembus awan gelap. Ketika itu sekitar pukul empat pagi. Di kapal orang bersorak-sorai gembira dengan rasa syukur dan lega.
Memang masih ada batu apung dan abu turun ke geladak, tetapi paling tidak kami bisa melihat sekelilingnya dengan agak jelas.
Kami masih berlayar menyusuri pantai Sumatra. Nampaknya pantai sangat sunyi. Yang dulunya ditumbuhi pohon-pohon kini hanya tersisa tunggul bekas batangnya yang patah.
Laut penuh dengan kayu dan batu apung, yang di pelbagai tempat mengumpul menjadi semacam pulau besar yang menutupi jalan masuk ke Teluk Lampung.
Tampang kapal Loudon benar-benar mengejutkan. Lebih mirip kapal yang tenggelam sepuluh tahun di dasar laut dan baru diangkat kembali.
Kami melayari Selat Sunda dan pagi-pagi sekali Krakatau nampak kembali.
Sekarang kami baru mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Seluruh pulau itu meledak sampai hancur lebur dan sebagian besar hilang.
Dinding kawahnya sama sekali runtuh, kami hanya melihat celah-celah raksasa yang mengeluarkan asap dan uap.
Di laut, antara Pulau Sebesi dan Pulau Krakatau yang tadinya masih merupakan jalur pelayaran, kini bermunculan pulau-pulau vulkanik kecil dan berpuluh gosong karang timbul dari permukaan air. Pada delapan tempat tampak asap dikelilingi uap putih dari laut.
Dengan lambat kami mendekati pantai Jawa. Pemandangan yang terlihat hampir tak terperikan.
Segalanya telah diratakan menjadi gurun tak bertuan. Waktu kami berlabuh di Teluk Anyer, kami baru menyadari bahwa pelabuhan kecil itu sudah tidak ada lagi.
Semuanya telah tersapu bersih, tiada rumah, tiada semak, bahkan tak ada batu yang kelihatan!
Hanya sebuah tonggak masih menandai bekas tempat berdirinya mercu suar. Selebihnya tidak ada apa-apa lagi, kehampaan dan kesepian.
Yang dulunya merupakan kampung-kampung yang makmur, kini hanya hamparan lumpur kelabu. Sungai penuh dengan puing dan lumpur. Di mana-mana tak nampak tanda-tanda kehidupan.
Juga pulau-pulau di Selat Sunda tak luput dari musibah. Pulau Sebesi yang pernah dihuni dua ribu orang, kini hanya seonggok bukit abu.
Sampai puncaknya yang hampir lima ratus meter tingginya itu dan semua tumbuh-tumbuhan tak berbekas.
Tak terlihat perahu atau desa lagi. Demikian pula keadaan pulau-pulau lain, Pulau Sebuku dan Pulau Sangiang.
Hujan lumpur
Pada tanggal 29 Agustus kami kembali di Lautan Hindia. Makin ke Utara makin kurang kelihatan akibat malapetaka besar itu.
Kemudian di Padang dan beberapa tempat lainnya kami bertemu dengan orang-orang yang mendengar ledakan-ledakan dan gemuruh Krakatau.
Yang aneh ialah bahwa kami yang ada di tempat dekat Krakatu tidak mendengar dentuman-dentuman itu "
Itulah kisah seorang penumpang kapal yang melihat malapetaka dari jarak jauh. Dari kota Teluk Betung sendiri ada saksi mata yang selamat.
Menurut dia gelombang pasang yang pertama tiba pada tanggal 27 Agustus pagi sekitar pukul setengah tujuh, yang merebahkan lampu pelabuhan, gudang batu baru, gudang di dermaga dan melemparkan kapal Barouw dari sisi timur bendungan melewati pemecah gelombang sampai ke Kampung Cina.
Gudang garam rusak dan Kampung Kangkung beserta beberapa kampung di pantai lainnya dihanyutkan.
Kapal pengangkut garam Marie terguling di teluk, tetapi kemudian dapat tegak kembali. Orang juga melihat kapal Loudon berlabuh, kemudian berlayar lagi pada pukul tujuh.
Langit berwarna kuning kemerah-merahan seperti warna tembaga, dari arah Krakatau terlihat kilatan-kilatan api, hujan abu turun tiada hentinya, tetapi sekitar pukul delapan keadaannya tenang.
Sementara orang yang sempat mengungsi ke tempat-tempat yang tinggi waktu itu masih sempat kembali ke rumah masing-masing untuk menyelamatkan apa saja yang masih bisa diambil, atau untuk melihat keadaan.
Kurang lebih pukul sepuluh tiba-tiba terdengar letusan hebat yang membuat orang terpaku. Suatu pancaran cahaya dan kilat terlihat di arah Krakatau. Segera setelah letusan itu hari mulai remang-remang.
Kerikil batu apung mulai bertaburan. Menjelang pukul sebelas hari gelap seperti malam, hujan abu berubah menjadi hujan lumpur.
Selanjutnya apa yang tepatnya berlangsung, tiada yang tahu, karena yang selamat berlindung di rumah residen dan hanya mendengar deru dan gemuruh sepanjang malam yang disebabkan oleh angin topan yang mematahkan ranting menumbangkan kayu-kayuan, melemparkan lumpur pada kaca-kaca jendela.
Para pelarian itu tidak sadar bahwa gelombang pasang sebenarnya sudah mendekati tempat pengungsiannya sejauh 50 m di kaki bukit.
Baru keesokan harinya orang mengetahui betapa besar penghancuran yang terjadi. Seluruh dataran diratakan dengan tanah, tiada rumah maupun pohon yang masih tegak.
Yang ada hanya abu, lumpur, puing, kapal ringsek dan may at manusia maupun hewan bertebaran di mana-mana.
Kapal Barouw sudah tak terlihat lagi. Baru kemudian kapal yang naas itu ditemukan di lembah Sungai Kuripan, di belakang belokan lembah pada jarak 3.300 m dari tempat berlabuhnya, dan 2.600 m dari Pacinan, tempatnya dicampakkan gelombang pertama pukul setengah tujuh itu.
Sejumlah perahu terkandas di tepi lembah, sebuah rambu laut ditemukan di lereng bukit pekuburan. Awak kapal Barouw, mualim pertama Amt dan juru mesin Stolk hilang tak ketahuan rimbanya.
Bagian pantai Sumatra yang terjilat malapetaka Krakatau yang paling parah, terutama yang letaknya berhadapan dengan Selat Sunda. Misalnya tempat-tempat di tepi Teluk Semangka.