Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Ini Ulasan Kwik Kian Gie hingga Ari Kuncoro Sebut Indonesia tak akan Alami Krisis seperti 1998

Nilai tukar Rupiah sempat terpuruk hingga angka Rp 15.000 akibat tekanan Dollar AS, tapi belakangan rupiah mulai menguat.

Editor: Aldi Ponge
afp
Rupiah dan Dollar AS 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Nilai tukar Rupiah sempat terpuruk hingga angka Rp 15.000 akibat tekanan Dollar AS, tapi belakangan rupiah mulai menguat.

Seperti apakah proyeksi rupiah dan kondisi perekonomian Indonesia ke depan? Apakah menyerempet ke situasi Krisis ekonomi 1998 lalu?

Baca: Live Streaming dan Jadwal Kualifikasi hingga Race MotoGP 2018 Italia di Sirkuit Misano

Para ahli ekonomi mengungkapkan, Indonesia tidak mengalami krisis seperti yang dialami oleh Indonesia pada tahun 1998.

Hal tersebut disampaikan ketika Rosiana Silalahi bertanya ke setiap narasumber 'ROSI' yang ditayangkan oleh KompasTV pada Kamis 6/9/2018)

Kwik Kian Gie hingga Ari Kuncoro Sebut Indonesia Tidak akan Alami Krisis seperti Tahun 1998

Rosi bertanya apakah kondisi krisis tahun 1998 akan dialami oleh Indonesia saat ini, semua narasumber satu suara berkata tidak.  

Para narasumber tersebut adalah Kwik Kian Gie, Said Didu, Denni Puspa Purbasari, Prof Ari Kuncoro dan Andreas Eddy.

Kwik Kian Gie, Menko Ekonomi, Keuangan dan Industri (Ekuin) tahun 1999-2000 mengatakan rupiah terus melemah bukan sesuatu yang baru, dan kondisi melemahnya rupiah di tahun 1998 berbeda dengan tahun 2018.

“Sejak tahun 1970 hingga sekarang, nilai tukar rupiah terus menurun, jadi tidak ada yang aneh dengan hal itu” Kata Kwik Kian Gie kepada Rosi.

Baca: Jokowi Minta Restu, Begini Jawaban Istri Gus Dur

Kemudian, ada Andras Eddy Susetyo yang mengatakan bahwa tahun 1995 sampai 2000 dia berada di direksi bank Niaga.

Dia menjadi pelaku sejarah ketika krisis 1998 menyimpulkan bahwa kondisi 1998 sangat berbeda dengan 2018.

Andreas juga mengungkapkan bahwa berdasarkan fakta, ekonomi Indonesia masih bertumbuh, tidak banyak negara yang bisa bertumbuh diatas 5 persen.

Tidak hanya itu, tingkat Inflasi yang terjadi di Indonesia juga rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya.

“Dengan jelas tidak, karena kebetulan tahun 1995 sampai 2000 saya menjadi direksi bank niaga, jadi saya mengalami sendiri sebagai pelaku sejarah bahwa kondisinya sangat berbeda dan itu tidak akan sama bahwa kita tidak akan mengalami krisis seperti tahun 98” Kata Andreas Eddy Susetyo.

Baca: Tanggapan Adik Ahok Soal Isu Kakaknya akan Menikah hingga Rencana Pindah Agama

Selanjutnya, Said Didu, Sekretaris Kementrian BUMN tahun 2005-2010 menjelaskan bahwa ada perbedaan antara krisis 1998 dan 2018.

Perbedaan yang dimaksud adalah terkait kondisi pangan Indonesia.

Masalah yang terjadi di tahun 1998 adalah kondisi pangan tidak stabil sehingga terjadi gejolak sosial yang tinggi sedangkan pada 2018 kondisi pangan cenderung stabil.

Sementara itu, Prof Ari Kuncoro, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ketika ditanyai oleh Rossi tentang apakah krisis 1998 akan terjadi di tahun 2018 dengan singkat dia hanya menjawab tidak.

Baca: Terungkap Setelah 7 Tahun, Najib Razak Ternyata Bayar Jaksa Kasus Sodomi Sebesar Rp 34 Miliar

Berikutnya, Deputi Bidang kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden, Denni Puspa Purbasari, mengatakan bahwa melemahnya rupiah adalah hasil dari konsekuensi yang logis.

“Kalau kita melihat rupiah semakin lemah, ini adalah konsekuensi yang logis,” kata Denni.

Denni juga mengungkapkan bahwa pemerintahan Presiden Jokowi sudah berusaha dengan melakukan structure adjustment seperti membangun infrastruktur, membuat iklim usaha menjadi lebih bagus, dan kualitas sumber daya manusia yang lebih bagus juga sehingga krisis yang terjadi pada tahun 1998 tidak akan terjadi di 2018.

Lihat video ulasan selengkapnya di bawah ini.

Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden, Denni Puspa Purbasari menerangkan bahwa pemerintah Indonesia sudah porposional memberi penjelasan terkait gejolak rupiah akhir-akhir ini.

Presiden Jokowi mengatakan bahwa menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika lebih disebabkan oleh faktor eksternal bukan internal.

“Memang tsunami yang terjadi di pasar keuangan ini lebih disebabkan oleh faktor eksternal yaitu kebijakan dari Federal Reserve yang menaikkan tingkat suku bunga. Ditambah dengan kebijakan fiskal yang sangat ekspansif dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump” Jelas Denni Puspa Purbasari.

Akibat dari kebijakan fiskal ini membuat Amerika mengalami budget deficit yang besar, sehingga AS menjual surat utang kemudian menawarkan suku bunga yang lebih tinggi.

Baca: (VIDEO) 41 Anggota DPRD Malang Ditangkap KPK, Jokowi Beri Pernyataan

Pada saat yang  sama ada dua suku bunga yang bergerak bersama di Amerika dan kedua suku bunga tersebut naik.

Naiknya suku bunga di Amerika mengakibatkan semua uang yang mengalir dari Amerika yang masuk ke emerging market termasuk Indonesia sejak 2008 kembali ke Amerika.

Denni juga menjelaskan bahwa penarikan uang dari Amerika ini terlalu cepat, sehingga terjadi sudden reversal, pembalikan modal asing secara masif ke Amerika.

Selain itu juga pemerintah sudah mengatakan berkali-kali bahwa sejak lama masalah kita adalah current account defisit yaitu defisit neraca berjalan.

“Masalah account defisit ini tidak hanya terjadi tahun 2012 lalu, tapi ini adalah masalah sejak lama,” Terang Denni.

Denni juga menerangkan apa yang terjadi dengan perekonomian Indonesia di masa lalu.

“Dulu kita mengalami twin deficit sejak 1980-an baik ketika harga minyak jatuh pada sesi pertama, kemudian terjadi devaluasi 28 persen, kemudian terjadi lagi penurunan harga minyak yang lebih drastis karena kita bersandar penuh pada ekspor minyak, jadi tahun 86 indonesia mengalami devaluasi lagi sebesar 38 persen” Jelas Denni

“Kalau kita melihat rupiah semakin lemah, ini adalah konsekuensi logis,” Kata Deputi III Kantor Staf Presiden itu.

Denni mengungkapkan bahwa pemerintahan Presiden Jokowi sudah berusaha dengan melakukan structure adjustment seperti membangun infrastruktur, membuat iklim usaha menjadi lebih bagus, dan kualitas sumber daya manusia yang lebih bagus juga sehingga krisis yang terjadi pada tahun 1998 tidak akan terjadi di 2018.

Rupiah Menguat

Sempat melemah sejak awal pekan, nilai tukar rupiah berhasil menguat di penutupan akhir pekan ini, Jumat (7/9/2018).     

Namun, analis memproyeksikan sentimen global masih akan menghantui rupiah dalam sepekan depan.

Mengutip Bloomberg di pasar spot, rupiah tercatat menguat 0,49% ke Rp 14.820 per dollar Amerika Serikat (AS). Sementara, berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI) rupiah tercatat menguat 0,04% ke Rp 14.884 per dollar AS.

Analis Monex Investindo Futures Faisyal mengatakan, awal pekan ini pelemahan rupiah disebabkan pengaruh penguatan dollar AS yang dipicu kekhawatiran akan perang dagang AS dengan China.

Kebijakan AS yang kembali mengenakan tarif baru antara 10%-20% terhadap US$ 200 miliar produk impor China menjadi sentimen negatif bagi rupiah.

Selain itu, rupiah dibawa melemah pada awal pekan karena potensi kenaikan suku bunga AS di bulan ini juga semakin bulat karena didukung data ekonomi AS yang positif.

Sementara, dari dalam negeri rupiah melemah di awal pekan karena investor khawatir defisit neraca perdagangan tembus ke 3%.

Namun, hari ini rupiah berhasil membalikkan keadaan. Faisyal melihat rupiah menguat karena intervensi BI cukup besar.

Sementara, dollar AS juga tak bertenaga, dipengaruhi dari melemahnya dollar AS terhadap yen di tengah potensi perang dagang yang terjadi antara AS dengan Jepang.

Sepekan depan, Faisyal mengatakan pergerakan rupiah akan dipengaruhi oleh hasil data ketenagakerjaan AS yang akan dirilis malam nanti. Jika data yang dirilis positif, maka bisa membuat rupiah kembali tertekan.

Selain itu, investor juga menanti perkembangan perang dagang AS dan China, pasalnya China akan membalas tarif impor baru AS. Jika perang dagang masih memanas, maka hal ini juga menjadi sentimen negatif bagi rupiah.

Untuk sepekan ke depan, Faisyal memproyeksikan rupiah berada di Rp 14.730 per dollar AS hingga Rp 15.000 per dollar AS. Sedangkan untuk perdagangan Senin (10/9) rupiah diperkirakan berada di rentang Rp 14.760 per dollar AS hingga Rp 14.870 per dollar AS.  

Artikel ini telah tayang di tribun-medan.com dengan judul Rupiah Menguat tak Seperti Krisis 1998, Ulasan Kwik Kian Gie dan Pengamat Ekonomi di Video Ini, http://medan.tribunnews.com/2018/09/08/rupiah-menguat-tak-seperti-krisis-1998-ulasan-kwik-kian-gie-dan-pengamat-ekonomi-di-video-ini?page=all.

Editor: Salomo Tarigan

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved