Desa Peling Siau Barat Jadi Tempat Kedua Berkibarnya Bendera Merah Putih
Desa Peling Kecamatan Siau Barat merupakan tempat berkibarnya Bendera Merah Putih kedua pada tanggal 1 Januari 1946 Pukul 12:00 WITA.
Penulis: | Editor:
Laporan wartawan Tribun Manado Jhonly Kalentuang
TRIBUNMANADO.CO.ID, SIAU - Tahun ini Republik Indonesia akan memasuki usia Ke-73 Tahun kemerdekaan.
Melihat ke belakang ternyata ada yang menarik untuk di bahas di Kabupaten Kepulauan Sitaro.
Informasi yang dirangkum dari Desa Peling Kecamatan Siau Barat merupakan tempat berkibarnya Bendera Merah Putih kedua pada tanggal 1 Januari 1946 Pukul 12:00 WITA, usai proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Informasi yang dirangkum ada sembilan orang pejuang dari Desa Peling dengan gagah berani memperjuangkan kemerdekaan Indonesia terlebih khusus di Sitaro tujuh di antaranya masih memiliki hubungan sauadara yakni Laurens Mocodompis Kansil, Robert Kansil, Olden Kansil, Erens Kansil, Aldofina Kansil, Rachel Kansil, Albert Kansil, Akumina Karame, dan Darius Mumba.
Berdasarkan penuturan Beatrix Kansil (55) anak dari Robert Kansil menjelaskan, pada awalnya kakak dari ayahnya yakni Laurens Mokodompis Kansil merupakan guru SGB di Makasar.
Ayahnya bermodalkan pendengaran dari sebuah stasiun radio yang memberitakan bahwa Indonesia telah merdeka menyampaikan pada kakak mereka.
"Dengan perjuangan Kakak ayah saya mereka dengan menggunakan perahu kayu berlayar dari Makasar selama tiga bulan untuk sampai Ke Sitaro tepatnya di Desa Peling," kata dia.
Dia melanjutkan, dalam perjalanan menggunakan perahu Laurens menyempatkan diri mampir di pulau-pulau untuk memberitahukan kabar tentang Kemerdekaan Indonesia.
Kansil menjelaskan, hal ini sempat diketahui oleh para penjajah dan mengejar Laurens bersama dengan ayahnya serta rombongan saat itu.
"Mereka ditembaki ditengah laut, beruntung dengan keberanian dan tuntunan Tuhan mereka bisa meloloskan diri dari kejaran penjajah hingga tiba disini," lanjut dia.
Dia melajutkan setiap malam mereka terus berunding di rumah di Desa Peling untuk mencari waktu yang tepat untuk mengibarkan bendera Merah Putih sehingga diputuskan tanggal 1 Januari 1946.
Setelah pukul 12.00 siang, setelah ibadah minggu, bendera dikibarkan.
Sempat mendapatkan larangan dari orangtua meraka (Opa Beatrix) namun dengan keberanian dan kegigihan mereka mengibarkan bendera tersebut.
"Opa mengatakan kepada meraka membuat lubang jarum saja kalian tidak bisa bagaiman cara kalian melawan penjajah yang bersejatakan lengkap. Lalu kakak perempuan ayah saya Adolfina Kansil mengambil sebila parang dan menancapkannya ke meja dan mengatakan dengan ini akan kami lawan penjajah," katanya menirukan pencakapan malam itu.
Beatrix kembali mengisahkan, tiga jam pasca dikibarkan Bendera Merah Putih, Laurens yang merupakan otak dari semua ini langsung dibawah oleh Belanda dan dikurung selam tiga bulan.
"Selama itu pula senjata selalu ditodongkan kepada om saya namun dengan beraninya dia menagatakan walau pun saat ini dia mati ditangan penjajah mereka tetap akan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia," tuturnya.
Dirinya menambahkan, untuk Bendera yang dikibarkan serta parang yang ditancapkan ke meja oleh Adolfina kini berada di kantor Veteran di Tuminting Manado.
Serta, sebelum menutup usia Roberth dan Lauren sempar berpesan agar terus menjaga perjuangan dan kemerdekaan Indonesia.
"Jadi, motto yang tertera di monumen Merah Putih itu merupakan pesan dari mereka," terangnya.
Dalam monumen yang berukuran 12×10 meter tersebut, tergambar jelas berapa orang berunding, kemudian salah satu menancapkan pedang di atas meja, lanjut gambar seorang dibawah ke dalam penjara, serta gambar pengibaran bendera.
Karena sebagai bukti sejarah, monumen ini diresmikan pada tanggal 10 September 2005 oleh Bupati Sangihe saat itu (sebelum otonom) Winsulangi Salindeho.
Namun semenjak dibangun, baru sekali dilakukan perbaikan, yakni membuat pagar dari besi, dan juga faving.
Terpisah Kapitalau Peling Svenpri Mumba, juga merupakan keluarga dari para pejuang tersebut, mengatakan
monumen peristiwa merah putih tanggal 1 Januari 1946, banyak orang tidak tahu.
"Memang monumen tersebut dibangun di samping rumah keluarga Kansil, untuk melindungi dari banjir atau kerusakan, dibangun tanggul dijalan air, agar ketika banjir air meluap ke monumen tersebut," kuncinya.
