Tajuk Tamu - Pentingnya Dialog Ditengah Pluralitas Agama
Dialog agama yang diusung tidak akan menemukan hasilnya tanpa mencoba merumuskan etika yang bisa mengatur secara konkret pergaulan antar umat
Oleh: Dedianus Pati (Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Semester VIII)
Seorang penggagas rumusan etika global, yang bernama Hans Kung mengatakan bahwa tidak akan ada perdamaian dunia tanpa adanya perdamaian agama-agama, tidak akan ada perdamaian agama tanpa adanya dialog antaragama, tidak akan ada dialog antar agama tanpa melacak nilai fundamental dari setiap agama.
Perkataan tersebut masih relevan dengan dunia sekarang ini.
Namun, dialog agama yang diusung tidak akan menemukan hasilnya tanpa mencoba merumuskan etika yang bisa mengatur secara konkret pergaulan antar umat beragama.
Diskusi mengenai pluralisme agama beserta perubahan-perubahan paradigmanya, de facto, merupakan produk cara berpikir Eropa.
Produk pemikiran itu telah membentuk sebuah teologi pluralisme agama yang cendrung kontradiktif, mengabaikan keharmonisan, konvergensi dan kesatuan.
Model pluralisme teosentris, pada akhirnya mengabaikan keunikan setiap agama.
Padahal pluralisme agama seharusnya disambut sebagai wujud kelimpahan manifestasi dari yang Maha Kuasa.
Keanekaragaman justru merupakan kesempatan bagi agama-agama untuk saling memperkaya satu sama lain.
Pluralitas agama merupakan realitas sosial yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Namun tidak jarang persoalan pluralitas agama sering kali menimbulkan persoalan yang menghantar manusia kepada sikap konflik horizontal.
Para penganut agama tertentu seringkali menganggap agamanya sebagai satu-satunya kebenaran mutlak dan mengabaikan kebenaran yang ada dalam agama-agama lain.
Akibatnya kekerasan terhadap agama menjadi sebuah realitas sosial yang membuat kelompok-kelompok agama berada dalam situasi keagamaan, kecurigaan, sikap sektarian, sikap fanatisme dan sebagainya.
Menghadapi ralitas pluralitas agama-agama dewasa ini, yang cendrung melahirkan konflik dan mengatasnamakan agama, maka dilihat sangat penting untuk membangun dialog antar umat beragama.
Dimana dialog merupakan satu-satunya langkah yang tepat untuk menuju perdamaian dengan kelompok-kelompok agama lain.
Tak ada cara lain bagi agama berhadapan dengan realitas pluralistik yang menantang ini, kecuali membuka diri atau dialog secara total satu dengan yang lain.
Namun dialog ini bisa berjalan manakala ada pergeseran paradigma, substansial ke relasional.
Dialog bukan hanya sekedar dialog semata, melainkan betul-betul menjadi milik setiap manusia yang berdialog dengan orang lain.
Hanya dengan cara demikian, kekerasan dan berbagai perbedaan dalam agama dapat diatasi.