Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Ada yang Khawatir dengan RUU Terorisme

Mantan naarapidana terorisme, Haris Amir Falah khawatir menyampaikan kekhawatirannya atas sejumlah pasal yang akan dimuat

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
Internet
DPR RI 

TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Mantan naarapidana terorisme, Haris Amir Falah khawatir menyampaikan kekhawatirannya atas sejumlah pasal yang akan dimuat dalam revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ( RUU Antiterorisme) yang dibahas pemerintah-DPR dan segera disahkan.

Ia menyoroti lamanya kewenangan penegak hukum saat melakukan penahanan terhadap terduga teroris dari tujuh hari menjadi 14 hari.

Menurutnya, masa penahanan tujuh hari yang digunakan dalam UU Terorisme saat ini sudah terbilang cukup berat. Sementara untuk pidana umum lain, masa penahanan awal untuk pemeriksaan hanya 1x24 jam sebelum meyakini menjadikannya sebagai tersangka.

Haris yang ditangkap oleh Densus 88 Antiteror Polri pada pertengahan 2010 itu menyampaikan, hal yang sangat berat bukan menimpa pada terduga teroris yang ditangka saja, tapi juga keluarganya. "Ya kasihan dong nanti keluarganya mereka. Tujuh hari saja ditahan itu sudah berat, apalagi sekarang sampai 14 hari dan masih bisa ditambah selama tujuh hari lagi," ujar Haris.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Maret 2011 memvonis Haris Amir Falah terbukti bersalah dan menghukumnya dengan pidana penjara selama 4,5 tahun atas kasus pengumpulan dana untuk pelatihan militer di pegunungan Jalin Jantho, Aceh Besar pada awal Januari 2010 sampai awal Februari 2010, untuk melakukan tindak pidana terorisme.

teroris
teroris ()

Pimpinan Tim Pembela Muslim (TPM) Achmad Michdan yang biasa mendampingi para tersangka dan terdakwa kasus terorisme juga menyampaikan kekhawatirannya terhadap sejumlah pasal yang ada dalam revisi UU Terorisme.

Kekhawatirannya cenderung lebih besar kepada hak asasi manusia. Ia khawatir pelaksana undang-undang dalam hal ini penegak hukum menyalahgunakan kewenangan yang baru diakomodir dalam RUU Terorisme tersebut. Terlebih ada rencana dilibatkannya perseonel TNI dan penegak hukum dapat melakukan penindakan tanpa perlu alat bukti yang cukup. Ia berharap kedua poin itu perlu dikaji ulang.

"Masih banyak yang sebenarnya perlu diperhatikan dalam ruu ini. Terutama sekali mengenai hak asasi manusia. Apalagi, TNI hari ini bisa berbagi tugas dengan Polri untuk masalah terorisme dan penahanan terduga teroris," ujarnya.

Dia menilai, belakangan banyak sekali kejadian penindakan yang dilakukan oleh pihak kepolisian yang sudah di luar akal sehat. Terduga, dapat ditahan kapan saja, di mana saja, tanpa peduli mereka sedang mengerjakan apapun. "Ini yang tidak boleh. Masa orang mau berangkat kerja terus ditangkap? Terus orang lagi nongkrong tiba-tiba ditangkap?" lanjutnya.

Baca: Definisi Terorisme Masih Mentok, Pelibatan TNI dengan Perpres

Belum lagi, kata dia, masih terdapat masalah dalam memberikan pasal kepada tersangka teroris. Di beberapa kasus, terjadi kesalahan dalam menyematkan pelanggaran. Tiga kasus di Indonesia Timur, misalnya, Achmad menjelaskan ada terduga yang seharusnya melanggar undang-undang darurat, justru dimasukkan dalam undang-undang terorisme, begitu sebaliknya. "Seharusnya, diberesi dulu dalam penindakan dan menjadikan tersangkanya. Dakwannya juga jelas pakai pasal yang mana? Masih banyak yang keliru," tegasnya.

Menurutnya, cukup kepolisian yang mengurusi kasus terorisme. Apalagi, kepolisian sudah mengerti seluruh anggota jaringan teroris yang tersebar di Indonesia. Begitu juga dengan kelengkapan yang dimiliki. "Cukup lah kepolisian saja. Tidak perlu TNI turun juga. Polisi sudah bisa memetakan seluruhnya. Mereka juga sudah tahu jaringannya siapa saja, pemimpinnya juga sudah diketahui," jelasnya.

Selama ini kepolisian tidak dapat melakukan penangkapan karena harus adanya tindak pidana yang dilakukan oleh terduga teroris. Kendati demikian, bukan berarti ada penangkapan tanpa harus memiliki alat bukti yang cukup.

Pasukan elite TNI
Pasukan elite TNI (facebook Moeldoko)

Keterlibatan TNI juga dikritisi oleh Ketua Komnas HAM, Chairul Anam. Bagaimanapun, menurutnya, turunnya TNI harus melalui keputusan politik, seperti Keputusan Presiden (kepres). "Tidak boleh TNI turun tanpa ada keputusan politik. Tetap harus ada keppres apabila TNI ikut dalam menangani kasus terorisme," tandasnya.

Pemerintah juga harus dapat menjelaskan maksud dan tujuan yang jelas saat mengikutsertakan TNI dalam menindak teroris. Bukan itu saja, pemerintah juga harus dapat menjelaskan status negara kepada masyarakat. " Harus ada aturan yang jelas jika mengikutsertakan TNI. Tidak bisa tanpa putusan politik," ujarnya.

Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan (Dirjen PP) Kementerian Hukum dan HAM Widodo Ekatjahyana menjelaskan, peran TNI dalam menanggulangi terorisme akan diatur lebih jauh dengan menggunakan perpres. "Memang sudah kesepakatan bersama, akan dibuat payungnya berupa Perpes untuk saat ini," kata Widodo.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved