Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Definisi Terorisme Masih Mentok, Pelibatan TNI dengan Perpres

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum sepakat soal definisi terorisme dalam pembahasan revisi Undang-Undang

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
TribunJabar
Ilustrasi Densus 88  

TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum sepakat soal definisi terorisme dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ( RUU Antiterorisme). Rapat pembahasan di Gedung DPR Jakarta pada Rabu (23/5) kemarin menghasilkan dua opsi atau pilihan terkait poin definisi terorisme.

Definisi pertama, "Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional."

Dalam definisi kedua, sejumlah fraksi menginginkan dimasukkannya frasa motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan dalam definisi terorisme tersebut.

Presiden Joko Widodo memberikan pengarahan kepada 1.720 prajurit Kopassus di Lapangan Mako Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur, Kamis (10/11/2016).
Presiden Joko Widodo memberikan pengarahan kepada 1.720 prajurit Kopassus di Lapangan Mako Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur, Kamis (10/11/2016). (Tribunnews.com/Wahyu Aji)

Bunyinya, "Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan."

Dua definisi tersebut akan kembali dibahas oleh pemerintah dan DPR dalam tapat kerja lanjutan di Gedung DPR pada Kamis (24/5) hari ini. Sebab, pihak pemerintah masih perlu melaporkan dan masih ada perbedaan sikap antar fraksi-fraksi.

Baca: TNI akan Dilibatkan Dalam Pemberantasan Terorisme, Begini Skemanya

"Kami sepakat agar besok saja diputuskan. Kami juga akan mendengarkan alasan logis dari mereka," ujar Ketua rapat tim perumus Panja RUU Terorisme, Supiyadin Aries Saputra, usai rapat kerja pemerintah dan DPR.

Dalam rapat selama enam jam itu, pemerintah berganti sikap setelah skorsing. Mulanya mereka mempertahankan argumen terhadap definisi pertama, namun berikutnya beralih kepada pilihan definisi kedua.

Ketua Pansus RUU Antiterorisme Muhammad Syafi'i menyampaikan, frasa motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan tersebut harus dimasukan dalam definisi untuk membedakan apakah suatu tindakan kejahatan masuk dalam kategori kriminal biasa atau terorisme. "Saya berpendapat harus ada pembeda antara kriminal biasa dan terorisme," ujar Syafi'i.

Ia menjelaskan, suatu tindakan tidak bisa dikategorikan sebagai terorisme apabila tidak memenuhi unsur adanya motif politik, ideologi atau ancaman terhadap keamanan negara. Misalnya, seorang terduga teroris melakukan pembunuhan akibat berselisih paham dengan orang lain tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme.

Di sisi lain, definisi dalam batang tubuh dapat diterapkan secara kumulatif atau alternatif sehingga tidak menyulitkan aparat penegak hukum dalam bertindak. "Misal ada orang yang berlabel teroris, dia selisih paham kemudian melakukan pembunuhan, apa ini bisa disebut teroris? Saya rasa bukan," ucapnya. "Saya setuju sifatnya mau alternatif atau kumulatif, tapi kita bisa pertanggungjawabkan ke publik bahwa ada perbedaan antara kriminal biasa dan terorisme," kata dia.

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM Enny Nurbaningsih yang mewakili pemerintah menjelaskan, perubahan sikap pemerintah semata mengakomodir pilihan mayoritas fraksi. "Kami mengakomodir argumen yang berkembang di fraksi," ucapnya.

Setidaknya terdapat tujuh fraksi yang sepakat dengan opsi kedua. Anggota Pansus dari PPP, Arsul Sani mengatakan perlu adanya pembatasan motif, agar tidak bermasalah di kemudian hari. "Dari fraksi kami menganggap jangan sampai ada masalah di kemudian hari. Makanya, perlu ada pembatasan motif," katanya.

Sementara itu, fraksi PDIP yang diwakili oleh Risa Mariska mengatakan sedari awal fraksinya tetap bertahan pada opsi pertama bersama Fraksi PKB. Alasannya, aksi terorisme tidak terbatas pada motif-motif tersebut. "Alasannya kan bisa macam-macam. Bukan hanya politik dan ideologi, bisa juga soal ekonomi, sehingga kami beranggapan bahwa opsi pertama sudah memenuhi unsur kejahatan asalnya (core crime)," tukasnya.

Densus 88
Densus 88 (TRIBUNNEWS)

Pelibatan TNI dengan Perpres

Mengenai pelibatan TNI dalam menanggulangi aksi teror yang sempat menjadi polemik, akhirnya disepakati oleh pemerintah dan DPR. Kesepakatan yang dimaksud adalah harus adanya peraturan presiden (Perpres) yang dirancang hanya untuk keterlibatan TNI. "Semuanya nanti ada di Perpres. Itu sudah sepakat. Perpres akan mengatur sejauh apa nantinya TNI terlibat," ucap Anggota Pansus RUU Antiterorisme Arsul Sani.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved