Pelemahan Rupiah Gerus Cadangan Devisa, Sebulan Berkurang 3 Miliar Dollar AS
Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) terus melemah. Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot
TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) terus melemah.
Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) yang dirilis Bank Indonesia (BI), kurs rupiah pada Kamis (3/5) berada di level Rp 13.965 per dollar AS.
Pelemahan nilai tukar itu menjadi level terdalam sejak akhir 2015. Pada 18 Desember 2015, rupiah juga sempat melemah hingga ke level Rp 14.032 per dollar AS.
Dengan rupiah yang terus melemah, posisi cadangan devisa Indonesia pada April dan Mei 2018 diperkirakan akan terus tergerus untuk intervensi rupiah.
Baca: Empat Jurus BI Menjaga Atabilitas Rupiah: Bagaimana dengan Utang Negara?
Ekonom Bank Permata Josua Pardede memproyeksikan dalam jangka pendek pelemahan rupiah akan menggerus cadangan devisa.
Apalagi pelemahan rupiah yang terjadi di bulan April lalu cukup besar.
"Intervensi yang dilakukan Bank Indonesia (BI) selama bulan April cukup besar. Apalagi rupiah juga sempat hampir mendekati Rp 14.000 per dollar AS," kata Josua kepada KONTAN, Kamis (3/5).
Walau pemerintah telah menerbitkan surat berharga negara (SBN) valuta asing dual currency senilai US$ 1 miliar dan 1 miliar, namun menurut Josua, hal itu belum bisa mengompensasi penurunan cadangan devisa untuk intervensi rupiah yang dilakukan oleh otoritas moneter.
Oleh karena itu dia memperkirakan, posisi cadangan devisa pada akhir April 2018 akan turun hingga mencapai US$ 123 miliar-US$ 124 miliar.
Angka itu lebih rendah US$ 2 miliar-US$ 3 miliar dibanding akhir bulan Maret 2018.
Menurut Josua, sampai saat ini BI masih melihat pelemahan rupiah yang terjadi hanya bersifat sementara.
Oleh karena itu dia melihat, BI belum akan melakukan penyesuaian kebijakan suku bunganya hingga akhir tahun ini.
"Paling cepat, BI lakukan penyesuaian di semester pertama tahun depan," tambah Josua.
Apalagi Josua mencatat, depresiasi kurs rupiah sejak awal tahun atau year to date (YTD) sejak 1 Januari hingga Kamis (3/5) mencapai 2,8%.
Pelemahan ini masih lebih rendah dibanding mata uang lain seperti rupee India yang sebesar 4%, peso Filipina 3,4%, lira Turki hampir 9%, dan real Brazil 6,8%.
Selain faktor musim pembayaran kewajiban ke luar negeri, Josua bilang volatilitas rupiah yang terjadi saat ini juga merupakan reaksi atas antisipasi kepastian kenaikan suku bunga The Fed.
Tahun ini, pasar memproyeksikan kenaikan bunga acuan The Fed bisa naik hingga empat kali.
Ekonom Samuel Asset Manajemen Lana Soelistianingsih memperkirakan, posisi cadangan devisa akhir April 2018 bisa tergerus lebih hingga mencapai US$ 4 miliar.
Namun karena pemerintah menerbitkan SBN dalam dual currency di akhir April lalu, penurunan cadangan devisa bisa diredam.
"Penerbitan global bond bisa mengurangi tekanan. Bisa turun hanya US$ 2 miliar saja," kata Lana.

Baca: Bank Indonesia: Pelemahan Rupiah Reaksi Keputusan FOMC, Rp 13.975 per Dollar AS
Ekonom Bank Permata Josua Pardede memproyeksi dalam jangka pendek posisi cadangan devisa (cadev) masih akan tergerus, setelah menurun sejak akhir Februari 2018 lalu.
Apalagi, pelemahan rupiah di bulan April kemarin cukup besar.
"Intervensi yang dilakukan BI selama bulan April cukup besar.
Apalagi rupiah juga sempat hampir mendekati Rp 14.000 per dollar AS," kata Josua kepada KONTAN, Kamis (3/5).
Pemerintah memang telah menerbitkan surat berharga negara (SBN) valas melalui dual currency, yakni US$ 1 miliar dan € 1 miliar.
Namun, hal itu diperkirakan Josua belum bisa mengompensasi besarnya intervensi yang dilakukan BI.
Makanya, dia memperkirakan, posisi cadev akhir April 2018 mencapai US$ 123 miliar-US$ 124 miliar, turun Rp US$ 2 miliar-US$ 3 miliar dibanding akhir bulan sebelumnya.
Sekadar mengingatkan, posisi cadangan devisa per akhir Maret US$ 126 miliar.
BI dijadwalkan mengumumkan cadangan devisa April pada pekan depan, Selasa (8/5).
Menurut Josua, BI melihat pelamahan yang terjadi hanya bersifat sementara.
Makanya, BI kelihatannya belum akan melakukan penyesuaian kebijakan suku bunganya hingga akhir tahun ini.
"Paling cepat, BI lakukan penyesuaian di semester pertama tahun depan," tambah Josua.
Josua mencatat, depresiasi kurs rupiah year to date sejak 1 Januari hingga Rabu (3/5) mencapai 2,8%.
Namun, pelemahan ini masih lebih rendah dibanding rupe yang sebesar 4%, peso 3,4%, lira Turki hampir 9%, dan real Brazil 6,8%.
Selain adanya faktor musim pembayaran kewajiban ke luar negeri, Josua bilang volatilitas rupiah yang terjadi juga merupakan reaksi atas antisipasi terhadap kepastian kenaikan suku bunga The Fed.
Tahun ini, pasar memproyeksi kenaikan bunga acuan The Fed bisa naik hingga empat kali.
Josua memprediksi, kurs rupiah masih akan ada di kisaran Rp 13.900 per dollar AS di akhir semester pertama nanti.
Sementara di semester kedua, biasanya permintaan terhadap dollar juga tidak terlalu banyak karena sudah semakin jelasnya arah kebijakan suku bunga The Fed.
Di akhir tahun ini, Josua memperkirakan rupiah akan ada di kisaran Rp 13.600-Rp 13.800 per dollar AS.
"Dengan kecenderungan lower karena current account deficit (CAD) kita masih di kisaran 2% dari PDB," kata Josua.
Selain itu, pasar obligasi Indonesia juga masih cukup atraktif sehingga investor masih akan tetap bertahan baik di protofolio maupun investasi langsung. *