Sejarah GMIM, dari Pendeta AZR Wenas hingga Siapa Ketua Sinode ke-16 yang Terpilih Nanti
Gereja Masehi Injili di Minahasa (disingkat GMIM) adalah salah satu kelompok gereja Protestan di Indonesia yang beraliran Calvinisme.
Keberadaan GMIM meneruskan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh penginjil dari Eropa. “Sejak dulu hingga kini, GMIM tetap konsisten mengutus Pekabar Injil seperti guru-guru dan Pendeta untuk melayani jemaat yang membutuhkan hingga di luar Indonesia,” ungkap Sekretaris Badan Pekerja Majelis Sinode GMIM, Arthur Rumengan, kemarin.
Dari catatan buku Menggali Harta Terpendam, jemaat-jemaat Minahasa bahkan menyediakan dana bagi Pekabar Injil terutama guru-guru untuk keluar. Misalnya, pada 15 Maret 1891 diutus empat pasang suami istri Minahasa, yakni Benyamin dan Suzana Wenas, Johan dan Penina Pinontoan, Richard dan Sara Tampenawas, Hendrik dan Mintje Pesik untuk melayani di Tanah Karo.
Mereka secara khusus diutus dalam ibadah pengutusan di Gedung Gereja Tondano yang ditopang oleh banyak jemaat. Gereja itu sendiri dapat menampung sekitar dua ribu jemaat. Dan sesuai catatan Kruyt (Rita Kipp, The early years of a dutch colonial mission, The Karo Field, hal 84), gedung gereja itu hampir tidak dapat menampung anggota jemaat yang ingin menyaksikan pengutusan itu.
Keempat pasang suami istri itu, diseleksi dari sekitar 12 pasangan yang mendaftarkan diri. Mereka diberi informasi soal kesulitan melayani, bukan ilusi-ilusi romantis tentang apa yang akan dihadapi oleh pekabar Injil di ladang penginjilan.
Ada juga prasyarat bahwa para calon hendaknya sudah menikah, karena itu kendati ada orang muda yang memberi diri, yang menyatakan mereka akan menikah ketika terpilih untuk diutus, tetap ditolak.
Tak hanya itu, bagi mereka yang kelihatannya tidak mempunyai yang menunjukkan kesungguhan dalam Pekabaran Injil, lamaran mereka ditolak juga. Pengutusan itu bukan tanpa pengorbanan.
Johan Pinontoan misalnya, sebagai seorang guru dan pemimpin benar-benar melayani jemaat denngan baik dan berkontribusi bagi pekerjaan gereja lainnya.
Di Jemaat ia bekerja, ia sudah menanam pohon pala dan sudah mulai berbuah.
Tetapi bersama istrinya, ia bersedia meninggalkan semua itu untuk diutus ke tanah Karo di Sumatera Utara. Yang sangat menggembirakan dari ulasan buku yang ditulis Pendeta DM Lintong memperingati 70 Tahun GMIM Bersinode, adalah nama-nama mereka tetap diingat oleh jemaat-jemaat Karo (Gereja Batak Karo Protestan).
Pada Januari 1937, pengutusan Injil GMIM di era kepemimpinan Pendeta AZR Wenas sebagai Ketua Sinode juga dilakukan di wilayah Gorontalo dan Donggala. Pada bulai Mei, Wenas juga melakukan kunjungan bersama Ds Vessem ke Buol dan Toli-toli.
Tenaga yang bekerja di Gorontalo pada masa itu adalah, Inlandsch Leraar (Guru Injil pribumi I Massie, Tiendas) dan guru jemaat. Diakui oleh Wenas bahwa sampai pada 1938, masih sedikit yang dilakukan GMIM berkenaan dengan pengutusan Injil.
Dan pada 12 Februari 1939 Guru Injil pribumi A Rondonuwu diutus lagi dari rumah gereja di Tondano, menjadi utusan Injil GMIM ke Toli-toli, dan Pendeta Penolong AA Vermeulen ditetapkan ke Gorontalo, walaupun pengutusan ke sana dibiayai oleh gubernemen (pemerintah).
Pengutusan berlanjut diutusnya AHS Lengkong ke Parigi selaku zendeling pertama GMIM yang keluar mengabarkan Injil dengan biaya yang ditanggung oleh GMIM. Sokongan jemaat terhadap utusan Injilnya dibuktikan dengan pengumpulan dana dalam Minggu Pengutusan Injil di Tahun 1940. Jumlah yang terkumpul terhitung untuk tahun 1939 sebesar 1.200,356 gulden dan pada tahun 1940 sejumlah 4.919,345 gulden.
Jumlah sokongan ini sangat menyenangkan bagi pelaksanaan pengutusan Injil. Semangat Pekabaran Injil keluar Minahasa berkembang pesat. Di tahun 1941 diutus lagi RPH Ngantung ke Molopaga daerah Parigi dan A Malonda ke Izimu. Kedua utusan Injil ini dibiayai langsung oleh GMIM. Sementara itu untuk daerah Ogowele di Toli-toli telah diutus Evangelis J Walewangko.
Dikatakan Rumenang, pengutusan Injil ini disyukuri karena dapat dilihat adanya orang-orang dari Minahasa yang menyediakan dirinya diutus ke daerah yang disebut sebagai daerah yang masih ditudungi dengan kegelapan.
“Saat ini untuk pembiayaan pelayanan di Sinode GMIM masih mengandalkan dana sentralisasi dari jemaat,” tandas Pendeta Arthur Rumengan. (warstef abisada)
Sumber dari Wikipedia bahasa Indonesia dan Tribun Manado edisi 6 dan 7 April 2013 hal 1