Prof Santoso: Sampai sekarang kan masih saja partai yang mengendalikan pemilih
Mandeknya demokrasi juga tidak disadari orang banyak, karena dari dulu sistem yang terjadi didalam partai politik juga belum berubah
Penulis: Nielton Durado | Editor:
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (NU) Yogyakarta, Prof. Purwo Santoso mengungkapkan bahwa saat ini masyarakat tidak sadar bahwa demokrasi di Indonesia sedang dalam keadaan mandek.
Hal itu ia ungkapkan pada ratusan mahasiswa, kala membawakan materi dalam kuliah umum di Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Kamis (15/2) di lantai empat gedung Rektorat Unsrat.
Menurut mantan dekan Fisipol Universitas Gadjah Mada ini, ada beberapa faktor yang membuat demokrasi di Indonesia kian mandek.
"Pertama adalah Populisme atau usaha merebut dukungan publik atas nama demokrasi, tapi ujungnya mengerucut sebagai upaya mendapatkan popularitas semata. Bahkan nalar seperti ini sudah terpelihara sejak lama," ujarnya.
Pria kelahiran Jepara Provinsi Jawa Tengah ini bahkan menambahkan bahwa perjalanan demokrasi di Indonesia masih sangat jauh dikarenakan rakyat tidak punya kontrol terhadap sang pemimpin dan agenda-agendanya.
"Justru para elit yang punya uang masih sering memainkan imajinasi rakyat melalui televisi dan wacana yang dibuat mereka pula," kata Santoso.
Mandeknya demokrasi juga tidak disadari orang banyak, karena dari dulu sistem yang terjadi didalam partai politik juga belum berubah.
"Sampai sekarang kan masih saja partai yang mengendalikan pemilih, bukan pemilih yang mengendalikan partai. Bahkan berharap partai untuk berubah secara politik tidaklah rasional, karena penguasa diminta melucuti kekuasaannya itu sesuatu yang tidak logis," aku dirinya.
Selain itu, Prof. Santoso juga membeberkan tiga detail atau kunci mengatasi kemandekkan demokrasi dari hasil studi yang dilakukan oleh pihaknya selama lima tahun.
Pertama yakni dari segi kewarganegaraan. Dimana Kewarganegaraan bisa hadir sebagai bentuk solidaritas dan ketika dikaji kewargaan yang ada justru menggunakan ikatan keagamaan seperti jemaah, jemaat dan seterusnya.
"Itu adalah ekspresi kedaulatan rakyat tapi satuan hitungnya bukanlah republik Indonesia melainkan satuan warga," ucapnya.
Tapi disinilah wadah kewarganegaraan yang belum di definisikan hanya karena tidak menggunakan kata kewarganegaraan. Akan tetapi esensinya ada disitu, change of publik maupun change of colectif menghasilkan kekuatan yang luar bisa.
"Dimana-mana negara atau pemerintah tidak bisa mencukupi warganya tetapi dengan ikatan keagamaan itu bisa menghasilkan sekian rumah sakit ataupun sekolah yang terbentuk," ujarnya.
Kunci yang kedua menurut Prof. Santoso, adalah menjadikan demokrasi bukan sekedar hak politik.
"Demokrasi juga harus mensejahterakan rakyat bukan hanya demokrasi yang menjadikan orang berbicara bebas. Kebebasan itu sudah ada tetapi yang ditunggu-tunggu demokrasi yang mensejahterakan," terangnya.