Kapten Budi Soehardi: Dari CNN Heroes ke Eco Village
Saya tidak khawatir. Kalau kita berniat membantu mereka yang kekurangan, selalu saja Tuhan buka jalan.
Penulis: Basuki
Enam bulan sudah bantuan karitatif untuk para pengungsi eks Timor Timur di Atambua rutin dihelat. Tapi Kapten Budi Soehardi dan istrinya, Rosalinda Panagia Maria Lakusa atau yang akrab disapa Peggy, merasa ada yang kurang tepat. Suplai makanan, pakaian, obat-obatan, sebanyak apa pun seolah menguap. Bantuan selalu habis, selalu kurang. Karena itu, setelah melakukan evaluasi, pasangan ini memutuskan untuk menghentikan kegiatan karitatifnya.
Baca: Misteri Batu Di Desa Penghasil Durian, Bidadari Kerap Keliling Desa Ini Setiap Sore
Budi menaruh kepercayaan yang besar bahwa anak-anak pengungsi eks Timor Timur pun kelak akan sukses. Mereka bisa menjadi agen-agen perubahan di tengah masyarakat. Namun, mimpi ini muskil terwujud, jika mereka tetap dibiarkan tinggal di pengungsian.
Ayah dari Christine, Tassya, dan Christian ini mengamati, lingkungan pengungsian bukanlah tempat kondusif bagi tumbuh kembang anak. Karena itu, mereka perlu ditolong dengan opsi lain. Aksi-aksi karitatif, seperti bagi-bagi sembako, memberi baju, nampaknya sudah tidak memadai lagi. Bertolak dari kesadaran ini, ia lalu menyiapkan sebuah pendekatan baru, pendekatan transformatif. “Pendekatan ini memang jauh lebih berat karena mensyaratkan adanya totalitas. Kami mesti hadir mengasuh mereka sebagai sebuah keluarga. Juga, kami harus menyediakan akses kesehatan dan pendidikan yang berkesinambungan dan berkualitas,” tekad mantan pilot Garuda Indonesia (1976-1989), Korean Air (1989-1998), dan Singapore Airlines (1998-2015) itu mantap.
Baca: Si Ganteng Putra Andi Soraya Mengaku Belum Pernah Jatuh Cinta
Bertolak dari keyakinan tersebut, meski tanpa pengetahuan dan pengalaman mengelola lembaga sosial, Budi dan Peggy nekad membuka panti asuhan (PA). PA ini diberi nama Roslin. Roslin merupakan akronim yang diambil dari dua nama: Rosalin (Ros) dan Violin (lin). Rosalin adalah nenek Peggy, sementara Violin tak lain adik dari neneknya. Dua sosok ini berperan penting dalam menyemai nilai-nilai kemanusiaan dan mendorong Peggy aktif mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan filantropi.

PA Roslin dirintis dengan menyewa sebuah rumah pada 1999. Ketika awal dibuka, ada 4 bayi yang dirawat. Bayi-bayi tersebut terlantar dan tidak ada yang mau mengurus. Kondisi mereka mengenaskan. Mereka begitu kurus, kurang gizi dan sekujur tubuhnya dipenuhi luka bernanah. Makin hari bayi yang diasuh makin bertambah. Jika semula hanya 4, kini menjadi 16. Karena merasa rumah yang disewa terlalu kecil, pada 2002, Budi memutuskan membangun sendiri tempat permanen panti yang dananya diambil dari sebagian gaji pilot yang rutin ia sisihkan.
Baca: Tak Hadir di Sidang Perceraian, Veronica Tan Titip Sepucuk Surat, Nicholas Sean Lakukan Ini
Saat membangun panti, ada kisah unik yang menyertai. Delapan tahun silam, jauh sebelum terlibat dalam aksi filantropi, Budi membeli sebidang tanah di Kupang. Tanah ini terletak di Jalan Claret RT 019 RW 006, Penfui Timur, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). “Mengapa unik? Karena dulu waktu beli tanah ini, saya tidak tahu tujuannya. Ada teman yang nawari, saya ambil saja. Ternyata, delapan tahun kemudian, tanah ini sangat bermanfaat. Karena itu, saya meyakini, semua yang terjadi dalam perjalanan hidup kita sebenarnya merupakan bagian dari rencana Tuhan,” ujar pria asli Yogyakarta ini dengan senyum merekah.
TINGGAL BERSAMA ANAK PA
Makin hari PA Roslin makin berkembang. Pernah, jumlah anak mencapai hingga 150 orang. Tentu saja mengurus manusia sebanyak ini tidaklah mudah. Karena itu, tahun 2015, Budi memutuskan untuk berhenti sebagai pilot. Budi yang anak seorang dosen Universitas Gadjah Mada ini menyadari, anak-anak tidak hanya butuh dukungan materi. Mereka memerlukan pula dukungan moral, sosial, bahkan spiritual. Itulah sebabnya, sejak dini, Budi berusaha memperlengkapi anak asuhnya dengan life skills, menanamkan semangat juang, kerja keras, kepercayaan diri, tanggung jawab, kejujuran dan sikap saling mengasihi. “Seperti kita tahu, salah satu cara belajar anak yang sangat mengagumkan adalah dengan meniru. Kami menganggap dengan tinggal bersama, nilai-nilai yang akan kami tanamkan akan lebih mudah diserap karena anak-anak bisa melihat contoh secara langsung,” urainya.
Baca: Vicky: Mendapatkan Seorang Angel Lelga Adalah Tantangan Besar
Budi memiliki prinsip, kita harus memulai sesuatu dari berkat yang sudah diterima. Karena itu, sejak awal Budi tidak segan untuk mengeluarkan seluruh biaya operasional panti dari uangnya sendiri. Begitu pun, saat menyadari bahwa tanah tempat tinggalnya sebagai tanah tandus berbatu, ia pantang mengeluh. Dengan tekun, sedikit demi sedikit, batu-batu yang ada ia singkirkan menggunakan palu godam atau belencong. Tanah yang sudah bebas dari batu dan semak belukar ini lalu diberi pupuk. Pupuk dibuat sendiri. Bersama Peggy, tanpa rasa jijik, keduanya memproses kotoran hewan menjadi pupuk kandang. Selesai diolah, diberi pupuk, tanah-tanah ini dimanfaatkan sebagai sawah, ladang, kebun dan lahan produktif lainnya.

Dengan pengalaman dan pengetahuannya yang diperoleh secara autodidak, Budi kemudian mengajari anak-anak untuk bercocok tanam. Anak-anak asuhnya dilatih mengenal pembenihan, bagaimana menanam, membuat pupuk, menyiram dan melakukan perawatan. Hasilnya? Mereka bisa swasembada beras, sayur dan buah-buahan.
Budi bersyukur. Katanya, “Kami tidak kekurangan. Kami malah surplus. Kami bisa menjual hasil panen beras, sayur dan buah ke daerah lain. Bahkan, kami bisa berbagi kepada masyarakat sekitar yang kekurangan. Tuhan sudah memberi tanah. Sesuai dengan janji-Nya, jika kami mengolahnya, sekalipun tanah itu kering, kami akan menikmati hasil baik yang tidak pernah mengecewakan.”
Baca: Begini Nasib Terkini Perawat yang Dituding Lakukan Pelecehan pada Pasien
Tidak hanya membekali anak-anak dengan ilmu pertanian, Budi juga mewajibkan anak-anak asuhnya untuk bersekolah. Ia yakin benar, akses pendidikan yang berkualitas merupakan jalan terbaik untuk meretas kemiskinan. Demi menghidupi idenya ini, pada 2013, Budi mendirikan Sekolah Roslin. Di sekolah ini, anak-anak tidak dipungut biaya. Bahkan sekolah menyediakan makanan dan susu gratis bagi para muridnya. “Kami sekarang mengasuh 116 anak. Sebanyak 98 tinggal di PA Roslin Kupang, sementara 18 lainnya bersekolah di Jakarta. Dari anak-anak yang kami asuh, beberapa di antaranya telah lulus dari perguruan tinggi. Ada yang tamat dari kedokteran, keperawatan gigi, pertanian dan IT. Tahun ini, ada 4 atau 5 anak lagi yang akan wisuda sarjana,” ujarnya bangga.
Baca: Hasil Photoshoot Denada Ini Seksi Abis, Netizen: Kok Jadi Gini Ya Mbak
Mengantar anak-anak mengenyam pendidikan setinggi mungkin, sudah menjadi tekad Budi. Tiga tahun lagi, bahkan ada sekitar 20 anak yang akan masuk perguruan tinggi. Dari mana biayanya? “Saya tidak khawatir. Kalau kita berniat membantu mereka yang kekurangan, selalu saja Tuhan buka jalan. Baru-baru ini, bahkan kami menerima sumbangan 153.147 USD dari orang yang tadinya tidak kami kenal,” ungkapnya penuh syukur.
TESABELA ECO VILLAGE
Budi sendiri berprinsip, kelangsungan sebuah pelayanan sosial, seharusnya tidak boleh mengandalkan dari donasi. Donasi itu semacam bonus saja. Itulah sebabnya, sejak awal mendirikan PA Roslin, ia selalu menekankan pentingnya kerja keras dan kemandirian. Demi menghidupi gagasannya, Budi yang pernah meraih CNN Heroes 2009 ini sudah menyiapkan lahan seluas 53 hektar di Desa Tesabela. Budi bermimpi, suatu saat bisa membangun sebuah eco-village yang diberi nama Tesabela Eco Village. “Di sini nanti akan dibangun berbagai pusat kegiatan. Eco village adalah sebuah pusat pertanian dan pendidikan yang diharapkan bisa membantu Kupang memaksimalkan sumber daya mereka agar terbebas dari kemiskinan,” ujarnya bersemangat.

Kupang dalam pandangan Budi sebenarnya memiliki semua potensi untuk tumbuh. Ia percaya, lahan dan kondisi lingkungan Kupang bisa diatasi. Dengan upaya ini, ia bermimpi kelak Kupang dan NTT secara umum bisa menjadi wilayah yang makmur. Katanya, “Kami sudah membuktikannya. Kami berhasil mengubah tanah berbatu dan tandus menjadi tanah produktif. Saya percaya, kesuksesan ini bisa diduplikasi. Harapan saya, di tanah ini nantinya dapat tercipta lingkungan yang bisa menampung hingga 1.000 anak.”
Anak-anak tersebut, dalam rencana Budi, akan diasuh di asrama berbasis karakter. Generasi-generasi masa depan ini, diperlengkapi baik dalam bidang akademis pun nonakademis. Pendirian lembaga pendidikan formal sudah pasti. Namun, selain itu, Budi juga ingin memperlengkapi eco village-nya dengan pusat pertanian, perikanan, dan eco resort.
Baca: Unggah Foto Pramugari Cantik Ini, Netizen Curiga Andika Kangen Band Pakai Jaran Goyang!
AWALNYA TAK SENGAJA
Mungkin ada yang bertanya, bagaimana Budi bisa terlibat dalam suatu aksi kemanusiaan yang inspiratif mengagumkan? Ternyata awalnya berangkat dari ketidaksengajaan.
Sore yang nikmat. Kebahagiaan terasa membuncah. Bagi pilot Kapten Budi Soehardi, bisa menikmati kebersamaan lengkap bersama istri dan ketiga buah hati, jelas merupakan momen mewah. Karenanya, untuk mengisi waktu spesial itu, Budi menyiapkan masakan favorit yang seluruh bahannya ia bawa sendiri dari Korea. Namun, ketika sedang asyik bercengkerama, termasuk membincangkan rencana liburan keliling dunia, tiba-tiba tanpa sengaja pandangannya tertumbuk pada sebuah tayangan stasiun televisi swasta yang menyorot penderitaan para pengungsi eks Timor Timor di Atambua.
Budi terhenyak. Tampilan demi tampilan yang tersaji di layar kaca membetot seluruh perhatiannya. Kondisi para pengungsi itu sungguh mengenaskan. Mereka tinggal di bedeng-bedeng berdinding kardus. Ada yang memanfaatkan barang-barang rongsok sebagai penutup gubuk. Pun tidak sedikit yang memakai kain bekas spanduk dan mengikatnya di batang-batang pohon sebagai tempat berteduh.

Bukan hanya tempat tinggal yang tidak layak. Makanan begitu terbatas dan jauh dari higinis. Tidak sedikit ibu-ibu yang terpaksa harus berbagi 1 mie instan untuk seluruh anggota keluarga. Bahkan, mungkin karena laparnya, mereka memunguti rumput krokot (portulaca oleraceae), memasaknya di kaleng-kaleng bekas cat untuk dikonsumsi sebagai bahan makanan.
Pemandangan itu benar-benar kontras dengan situasi yang melingkupi Budi dan keluarga di rumahnya yang nyaman di Singapura. Syok dengan apa yang dilihat, Budi tak lagi berselera menyentuh hidangan yang tersedia. Ia, istri dan ketiga anaknya hanya saling pandang. Meski tanpa kata, sangat jelas aroma keraguan menguar memenuhi setiap benak: Masih perlukah atau tepatnya, masih pantaskah liburan keliling dunia dilakukan sekarang?
Baca: Kisah Si Ayam Kampus, Mulai dari Tarif, Layanan Online, Hingga Pelanggan Tetap!
Budi kemudian berdoa. Sekitar pukul 23.00, usai menyampaikan pergumulannya kepada Tuhan, ia merasa diteguhkan. Tekadnya makin mantap. Ia lalu meminta izin kepada istri dan anak-anaknya untuk mengalihkan liburan yang sudah lama dipersiapkan dan menggantikannya dengan mengunjungi para mengungsi di Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT). Yang menakjubkan, ketika rencana itu disampaikan, ternyata istri dan anak-anaknya langsung setuju. “Bagi saya, dukungan ini semacam tanda bahwa Tuhan memberi restu atas bakti yang hendak kami lakukan,” ujar
TUHAN BERI KEMUDAHAN
Menerima dukungan penuh dari keluarga, Budi lega dan sumringah. Malam itu juga, ia segera mengirim e-mail ke teman-teman terdekat menceritakan apa yang hendak dilakukannya. Dibantu istri, Rosalinda Panagia Maria Lakusa atau yang akrab disapa Peggy, ia mulai merancangkan aksinya. Targetnya tidak muluk-muluk. Dari kantongnya sendiri, ia akan menyumbang 10 ribu dolar. Sementara barang yang akan dibawa, dalam taksirannya, paling banyak 500 kilogram.
Baca: Kepo dengan Makhluk Halus, Prilly Latuconsina Ingin Mata Hatinya Dibuka
Esoknya, ponsel Budi tak henti berdering. Teman-temannya menyambut ajakannya dengan penuh antusias. Begitu pun e-mail yang disebar, banyak sekali mendapat tanggapan sangat positif. Mereka siap mendukung. “Setelah kami total, sumbangan itu membengkak di luar yang kami bayangkan. Barang yang terkumpul kurang lebih ada 1 ton. Sementara, uang mencapai 67 ribu dolar,” ujar pria kelahiran Yogyakarta ini penuh syukur.

Namun di tengah ketakjuban, masalah baru yang tak terpikirkan muncul. Bagaimana membawa barang sebanyak itu ke Jakarta? Kemudian Budi sharing ke seorang teman. Kawannya memberi referensi. Budi diminta menghubungi seseorang. Memenuhi anjurannya, ia lalu mengontak yang bersangkutan. Setelah memperkenalkan diri, dari percakapan via telepon tahulah, bahwa pria yang sedang berbicara dengannya adalah seorang station manager Singapore Airlines di Changi. Budi girang. Tanpa buang waktu, ia lalu menyampaikan niatnya untuk meminta diskon kargo atas barang-barang yang hendak dikirim ke Jakarta.
Guna membawa barang yang begitu banyak ke Bandara Changi, Budi memanggil sebuah jasa pengiriman. Anehnya, setelah mereka selesai menunaikan tugas, tidak seorang pun dari mereka mau menerima upah. “Kami sudah begitu gembira bisa sedikit membantu membawakan barang-barang Bapak untuk keperluan para pengungsi,” ujar salah seorang pegawai seolah mewakili teman-temannya.
Kejutan campur tangan Tuhan, terus berlanjut. Bertolak dari tangan-tangan yang tergerak memberi, didukung para petugas jasa pengiriman yang baik hati, di bandara terbaik di dunia ini, sekali lagi Budi menerima limpah rezeki. Petugas mengizinkannya membawa seluruh barang bantuannya via pesawat kargo Singapore Airlines. “Tidak hanya itu, ketika saya tanya berapa biaya untuk semua barang yang saya kirimkan, petugas hanya menjawab done. Karena saya bingung, ia memperjelas maksudnya bahwa untuk charity biaya done alias gratis. Saya yang tadinya hanya berharap mendapat diskon, Tuhan malah memberi kemudahan lain. Saya tidak perlu membayar sepeser pun,” kenang pria 62 tahun ini takjub.
Di Jakarta, Budi dan istri menambah barang-barang yang dibutuhkan. Rumahnya di Kalideres, Jakarta Barat, yang dijadikan tempat penampungan, terisi penuh. Jika ditotal berat barang bisa mencapai 10 ton. Budi sudah memutuskan, barang-barang ini akan diangkut lewat jasa shipping. Tapi bagaimana dengan biayanya? Ketika sedang kalut, kembali Tuhan memberi Budi kemudahan. Dia dipertemukan dengan seorang kapten Kapal PELNI yang tidak lain adalah teman masa kecil mertunya. “Tadinya sih, beliau menjaga jarak. Tapi setelah mendengar nama keluarga Peggy, kapten tersebut melunak dan malah meminta saya memanggilnya om,” ujarnya sembari tertawa.
Kisah tentang campur tangan Tuhan belum berhenti. Ketika sedang mengawal barang yang diangkut ke Kupang, di kapal, Budi berkenalan dengan beberapa tentara asal NTT yang baru pulang tugas. Ia trenyuh melihat mereka membeli makan patungan. Karena ada uang, setelah berkenalan, Budi mengajak para serdadu tersebut makan bersama. Mereka dipersilakan tambah nasi dan lauk sepuasnya. “Para tentara ini barangkali memberi tahu teman-temannya. Sebab, ketika kapal tiba di Kupang, saya melihat banyak sekali tentara yang tiba-tiba saja datang membantu menurunkan barang-barang saya. Anehnya, ketika saya menawarkan imbalan, tidak ada seorang pun yang mau menerima. Saya membatin, mungkin ini sebentuk ucapan terimakasih tulus lantaran di sepanjang perjalanan di kapal, saya mentraktir makan teman-teman mereka,” ujar Budi penuh syukur.
Penulis: Basuki. E-mail: basuki_cakbas@yahoo.com