Kapten Budi Soehardi: Dari CNN Heroes ke Eco Village
Saya tidak khawatir. Kalau kita berniat membantu mereka yang kekurangan, selalu saja Tuhan buka jalan.
Pemandangan itu benar-benar kontras dengan situasi yang melingkupi Budi dan keluarga di rumahnya yang nyaman di Singapura. Syok dengan apa yang dilihat, Budi tak lagi berselera menyentuh hidangan yang tersedia. Ia, istri dan ketiga anaknya hanya saling pandang. Meski tanpa kata, sangat jelas aroma keraguan menguar memenuhi setiap benak: Masih perlukah atau tepatnya, masih pantaskah liburan keliling dunia dilakukan sekarang?
Baca: Kisah Si Ayam Kampus, Mulai dari Tarif, Layanan Online, Hingga Pelanggan Tetap!
Budi kemudian berdoa. Sekitar pukul 23.00, usai menyampaikan pergumulannya kepada Tuhan, ia merasa diteguhkan. Tekadnya makin mantap. Ia lalu meminta izin kepada istri dan anak-anaknya untuk mengalihkan liburan yang sudah lama dipersiapkan dan menggantikannya dengan mengunjungi para mengungsi di Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT). Yang menakjubkan, ketika rencana itu disampaikan, ternyata istri dan anak-anaknya langsung setuju. “Bagi saya, dukungan ini semacam tanda bahwa Tuhan memberi restu atas bakti yang hendak kami lakukan,” ujar
TUHAN BERI KEMUDAHAN
Menerima dukungan penuh dari keluarga, Budi lega dan sumringah. Malam itu juga, ia segera mengirim e-mail ke teman-teman terdekat menceritakan apa yang hendak dilakukannya. Dibantu istri, Rosalinda Panagia Maria Lakusa atau yang akrab disapa Peggy, ia mulai merancangkan aksinya. Targetnya tidak muluk-muluk. Dari kantongnya sendiri, ia akan menyumbang 10 ribu dolar. Sementara barang yang akan dibawa, dalam taksirannya, paling banyak 500 kilogram.
Baca: Kepo dengan Makhluk Halus, Prilly Latuconsina Ingin Mata Hatinya Dibuka
Esoknya, ponsel Budi tak henti berdering. Teman-temannya menyambut ajakannya dengan penuh antusias. Begitu pun e-mail yang disebar, banyak sekali mendapat tanggapan sangat positif. Mereka siap mendukung. “Setelah kami total, sumbangan itu membengkak di luar yang kami bayangkan. Barang yang terkumpul kurang lebih ada 1 ton. Sementara, uang mencapai 67 ribu dolar,” ujar pria kelahiran Yogyakarta ini penuh syukur.

Namun di tengah ketakjuban, masalah baru yang tak terpikirkan muncul. Bagaimana membawa barang sebanyak itu ke Jakarta? Kemudian Budi sharing ke seorang teman. Kawannya memberi referensi. Budi diminta menghubungi seseorang. Memenuhi anjurannya, ia lalu mengontak yang bersangkutan. Setelah memperkenalkan diri, dari percakapan via telepon tahulah, bahwa pria yang sedang berbicara dengannya adalah seorang station manager Singapore Airlines di Changi. Budi girang. Tanpa buang waktu, ia lalu menyampaikan niatnya untuk meminta diskon kargo atas barang-barang yang hendak dikirim ke Jakarta.
Guna membawa barang yang begitu banyak ke Bandara Changi, Budi memanggil sebuah jasa pengiriman. Anehnya, setelah mereka selesai menunaikan tugas, tidak seorang pun dari mereka mau menerima upah. “Kami sudah begitu gembira bisa sedikit membantu membawakan barang-barang Bapak untuk keperluan para pengungsi,” ujar salah seorang pegawai seolah mewakili teman-temannya.
Kejutan campur tangan Tuhan, terus berlanjut. Bertolak dari tangan-tangan yang tergerak memberi, didukung para petugas jasa pengiriman yang baik hati, di bandara terbaik di dunia ini, sekali lagi Budi menerima limpah rezeki. Petugas mengizinkannya membawa seluruh barang bantuannya via pesawat kargo Singapore Airlines. “Tidak hanya itu, ketika saya tanya berapa biaya untuk semua barang yang saya kirimkan, petugas hanya menjawab done. Karena saya bingung, ia memperjelas maksudnya bahwa untuk charity biaya done alias gratis. Saya yang tadinya hanya berharap mendapat diskon, Tuhan malah memberi kemudahan lain. Saya tidak perlu membayar sepeser pun,” kenang pria 62 tahun ini takjub.
Di Jakarta, Budi dan istri menambah barang-barang yang dibutuhkan. Rumahnya di Kalideres, Jakarta Barat, yang dijadikan tempat penampungan, terisi penuh. Jika ditotal berat barang bisa mencapai 10 ton. Budi sudah memutuskan, barang-barang ini akan diangkut lewat jasa shipping. Tapi bagaimana dengan biayanya? Ketika sedang kalut, kembali Tuhan memberi Budi kemudahan. Dia dipertemukan dengan seorang kapten Kapal PELNI yang tidak lain adalah teman masa kecil mertunya. “Tadinya sih, beliau menjaga jarak. Tapi setelah mendengar nama keluarga Peggy, kapten tersebut melunak dan malah meminta saya memanggilnya om,” ujarnya sembari tertawa.
Kisah tentang campur tangan Tuhan belum berhenti. Ketika sedang mengawal barang yang diangkut ke Kupang, di kapal, Budi berkenalan dengan beberapa tentara asal NTT yang baru pulang tugas. Ia trenyuh melihat mereka membeli makan patungan. Karena ada uang, setelah berkenalan, Budi mengajak para serdadu tersebut makan bersama. Mereka dipersilakan tambah nasi dan lauk sepuasnya. “Para tentara ini barangkali memberi tahu teman-temannya. Sebab, ketika kapal tiba di Kupang, saya melihat banyak sekali tentara yang tiba-tiba saja datang membantu menurunkan barang-barang saya. Anehnya, ketika saya menawarkan imbalan, tidak ada seorang pun yang mau menerima. Saya membatin, mungkin ini sebentuk ucapan terimakasih tulus lantaran di sepanjang perjalanan di kapal, saya mentraktir makan teman-teman mereka,” ujar Budi penuh syukur.
Penulis: Basuki. E-mail: basuki_cakbas@yahoo.com