Mertolulut Sang Algojo Pada Masa Keraton Mataram, Begini Kisahnya
Seorang anggota komunitas Kerabat Keliling Jogja (KKJ) pekan lalu memposting foto sangat lawas, sebuah adegan di lingkungan dalam tembok Keraton Yogya
Sedangkan anak keturunan Singonegoro dan lokasi tempat tinggalnya belum diketahui pasti hingga kini. Tugas kedua abdi dalem ini diakhiri pada tahun 1926 di era Sri Sultan HB VIII.
Kuatnya pengaruh kolonial Belanda membuat sistem hukum berdasar Syariat Islam perlahan memudar. Tugas sang algojo pun selesai, dan sejak itu kisah seram Mertolulut dan Singonegoro berangsur hilang dari sejarah baru Mataram.
Kampung Mertolulutan ketika kemarin disambangi terasa sangat sunyi. Sebagian besar penduduknya pergi bekerja. Satu dua warga yang ditemui menggelengkan kepala ketika ditanya soal kisah Mertolulut.
"Kalau saya ya hanya tahunya sepotong-sepotong dari cerita simbah saya. Selebihnya ya tidak banyak tahu. Warga sepuh yang tersisa saya kira juga kurang paham soal ini," kata Taufan singkat, di gang masuk kampung arah Jalan Letjej Suprapto, saat ia hendak pergi.
Sejarah Mataram berdasarkan banyak literatur, adalah penggabungan kekejaman, penaklukan, mitos kejayaan Jawa, sekaligus legenda kehebatan rezim yang berakar pada masa Majapahit.
Buku HJ de Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram (1986), menuliskan secara lengkap bagaimana Sultan Agung menampilkan Mataram sebagai entitas kekuasaan yang mampu menandingi kehadiran kolonial Belanda.
Keagungan Mataram di tangan Sultan Agung yang dahsyat ternyata dicapai lewat upaya-upaya penaklukan di berbagai daerah, penuh gelimang darah.
Perang dilakukan di Madura, Madiun, sekitar Kendeng, Arusbaya, hingga Blambangan demi memusatkan kekuasaan di Kerta, pusat Keraton Mataram saat itu.
Politik ekspansif Sultan Agung di timur, tengah, dan barat Pulau Jawa ini membuahkan hasil ketika ia mampu memobilisasi pasukannya untuk menantang Belanda. Batavia dikepung, diserbu, meski akhirnya upaya perlawanan itu gagal.
Kegagalan di Batavia itupun melahirkan serangkaian pemberontakan, terutama dari wilayah Sumedang Larang dan Ukur di Tatar Sunda. Begitu juga muncul pembangkangan di Madura dan beberapa daerah lain. Namun Sultan Agung berhasil meredamnya dengan tangan besi.
Ribuan bangsawan dan pejabat Sumedang serta Kadipaten Ukur yang ditangkap dan dibawa ke Mataram, dieksekusi massal dengan cara dipancung di lapangan terbuka.
Dalam buku HJ de Graaf tak disebut secara spesifik apakah eksekutornya ini sudah dikenal sebagai Mertolulut dan Singonegoro, atau julukan lain.
Kisah Mertolulut dan sepotong foto lawas yang dimunculkan warganet ini belum berakhir. Misterinya masih menyisakan banyak tanya, terutama foto-foto pelaksanaan hukuman kejam pada masa lampau di Mataram belum pernah diekpose.(Tribunjogja.com/xna)