ARSIP
Inilah Kisah Penyamaran Bongkar Praktik Aborsi di Sulut yang Bikin 'Merinding'
Resepsionis kemudian membuka laci meja, dan mengeluarkan satu bundel kertas berukuran KTP, Ternyata itu adalah karcis untuk mendaftar.
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor:
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Detik-detik keberhasilan Polda Sulut menyergap dan mengungkap dugaan kasus malapraktik aborsi yang dilakukan dokter Elizabeth Mandagi di Klinik Bunda Maria miliknya, dimulai terlebih dahulu saat tim investigasi Tribun Manado menyamar sebagai calon pasien aborsi yang datang bersama pasangannya.
Baca: Kisah Terbongkarnya Kasus Aborsi di Pal 2 - Tribun Manado
SEKITAR 30 menit tim Polda Sulut lagi akan merangsek masuk Klinik Bersalin Bunda Maria, Kamis (19/5) 2011 sekitar pukul 15.30 Wita. Dua wartawan Tribun Manado ternyata tiba di lokasi lebih awal. Terpaksa menyusun strategi agar kedatangan tidak dicurigai, menyamar sebagai pasien yang akan aborsi. Selain itu juga, sekalian untuk memastikan kebenaran adanya malapraktik aborsi dan bagaimana proses yang terjadi sebelum dokter Elizabeth melakukan aborsi.
Saat masuk klinik, pasien yang menyamar langsung disambut ramah seorang wanita. Ia resepsionis klinik. Selanjutnya ia menanyakan keperluan keperluan pasien. Ia membuka laci meja, entah mencari apa, tapi menutup kembali.
Saat tahu pasien ingin melakukan aborsi, resepsionis tersebut menelepon dokter Elizabeth. Pasien wanita kemudian dipanggil untuk berbicara langsung dengan dokter. Saat itu dokter menanyakan keperluan pasien "Kenapa, apakah sudah terlambat? Apakah cuma mau datang kontrol atau apa?", tanya dokter.
Pasien meminta ingin berbicara langsung dengan dokter dengan alasan urusan penting. Dokter langsung menjawab, ""Oh, apakah mau kasih keluar, tidak mau pelihara anaknya yah? Kalau iya saya akan langsung pulang ke klinik," tanya dokter bersemangat. si pasien mengiyakan.
Dokter Elisabeth kembali berbicara dengan resepsionis, dan meminta pasien langsung menulis surat pernyataan bahwa pasien pendarahan dan butuh pertolongan (aborsi). Yl kemudian mengajak pasien masuk ke dalam.
Ada sebuah meja dan dua kursi. Tampak buku, kertas dan beberapa obat berserakan di atas meja. Terlihat sangat suram ruangan itu.
Pasien duduk dan langsung disodorkan sebuah buku tulis. Beberapa lembar kertas sudah berisi tulisan tentang surat pernyataan.
Pasien sempat membaca halaman per halaman tulisan itu. Isinya sama tak ada beda satu katapun, yaitu: "Saya meminta agar dokter merawat kesehatan saya sehubungan dengan adanya rasa pusing, mual-mual, dan pendarahan".
Yang membedakan dalam tulisan itu hanya nama, alamat dan tandatangan. Dan pastinya, alamat serta nama adalah fiktif belaka. Ada sekitar 10 lembar pernyataan dalam buku itu. Mereka yang menulis surat pernyataan mulai umur 16 hingga 35 tahun.
Resepsionis kemudian membuka laci meja, dan mengeluarkan satu bundel kertas berukuran KTP, Ternyata itu adalah karcis untuk mendaftar. "Pendaftaran baiayanya Rp 50 ribu," ujar Yl kemudian mentodorkan karcis tersebut.
Menunggu kedatangan dokter adalah masa yang menegangkan. Sekitar 20 menit kemudian sebuah mobil sedan masuk. "Itu dokter so tiba," ujar Yl. Pintu mobil terbuka dan dokter langsung bertanya, "Mana pasiennya?" Pertanyaan basa-basi, karena saat itu hanya ada satu perempuan saja di ruangan.
Ia tersenyum, ia berbicara tenang, suaranya ramah. "Mari kita periksa dulu,".
Kemudian pasangan pasien dan dokter masuk ke dalam ruangan, tempat aborsi dilakukan. Ada bau obat bercampur sedikit bau anyir darah.