Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

TAJUK TAMU: Purgatorium dalam Teologi Gereja Katolik

Istilah “Purgatorium” merupakan nama lain dari “Api Penyucian”.

Penulis: | Editor:
zoom-inlihat foto TAJUK TAMU: Purgatorium dalam Teologi Gereja Katolik
NET
Ilustrasi

oleh Agustinus Pietro Ponomban
(Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng)

TRIBUNMANADO.CO.ID - Istilah “Purgatorium” merupakan nama lain dari “Api Penyucian”. Perlu diketahui bahwa kata “Penyucian” berasal dari kata “suci” dan bukan “cuci”. Penyucian berarti sesuatu yang disucikan.

Dalam bahasa Latin sebenarnya, istilah untuk “api penyucian” disebut purgatorium yang berarti “pembersihan”. Sebenarnya Gereja sendiri tidak menyebutnya sebagai api, tetapi hanya penyucian saja yang berarti bahwa tahap terakhir dalam proses pemurnian sebelum masuk surga.

Dalam Katekismus Gereja Katolik (1030-1032) memberi penerangan secara jelas mengenai purgatorium. Ini merupakan keadaan yang harus dialami oleh orang yang telah menginggal dalam rahmat dan persahabatan dengan Allah, namun belum disucikan sepenuhnya (KGK. 1030).

Sebagai orang beriman jelaslah bahwa keselamatan ada padanya dan dengan api penyucian tersebut ia diperkenankan masuk ke dalam kebahagiaan abadi surgawi. Dapat dikatakan, bahwa ini bukan merupakan tempat antara surga maupun neraka melainkan proses untuk masuk ke surga.

Dengan demikian maka ada tiga penyimpulan penting. Pertama, Api Penyucian adalah suatu kondisi yang dialami oleh orang-orang yang meninggal dalam keadaan rahmat dan dalam persahabatan dengan Tuhan, namun belum suci sepenuhnya, sehingga memerlukan proses pemurnian selanjutnya setelah kematian. Kedua, Pemurnian di dalam Api Penyucian adalah sangat berlainan dengan siksa neraka. Ketiga, kita dapat membantu jiwa-jiwa yang ada di Api Penyucian dengan doa-doa kita, terutama dengan mempersembahkan ujud Misa Kudus bagi mereka.

Hal yang harus ditekankan yakni bahwa pemahaman purgatorium harus berkaitan dengan kehidupan setelah kematian. Hal yang terpenting bahwa purgatorium adalah awal untuk memasuki kerajaan surgawi bersama Allah Bapa.

Istilah purgatorium memang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Kitab Suci. Walaupun demikian dapat dibuktikan bahwa pemahaman Gereja akan purgatorium memiliki landasan Kitab Suci dan akan diambil beberapa perikopnya saja. Yesus sendiri dalam Perjanjian Baru memperlihatkan adanya Pengampunan dalam dunia yang akan datang (Mat. 12:32-36). “…dan di dunia yang akan datang pun tidak”, hal ini memperlihatkan ada “dunia yang lain” setelah semuanya berakhir. Selain itu juga bisa terjadi masih ada pengampunan di sana. Dalam perjanjian lama, dalam Kitab Zakharia, Tuhan bersabda, “Aku akan menaruh yang sepertiga itu dalam api dan akan memurnikan mereka seperti orang memurnikan perak. Aku akan menguji mereka, seperti orang menguji emas.” Sekolah Rabi Shammai menafsirkan ayat ini sebagai pemurnian jiwa melalui belas kasihan dan kebaikan Tuhan, mempersiapkan jiwa untuk kehidupan kekal.

Dalam “Crossing the Threshold of Hope” Paus Yohanes Paulus II menghubungkan “api kasih” Allah yang bernyala-nyala yang disebut-sebut oleh St. Yohanes dari Salib dengan doktrin api penyucian: “Api kasih yang bernyala-nyala” yang dibicarakan oleh St. Yohanes, terutama sekali merupakan api yang memurnikan.

Tuhan membuat manusia melewati penyucian batin yang demikian dari hawa nafsu dan kodrat rohaninya guna membawanya ke dalam persatuan dengan diri-Nya sendiri. kita ada dalam kasih dan yang terutama, kasihlah yang menghakimi. Tuhan, yang adalah kasih, menghakimi lewat kasih yang merupakan proses pemurnian.

Dalam kaitannya dengan magisterium Gereja, Konsili Firenze (1439) dan Trente (1563) terungkap pemahaman mengenai purgatorium. “Dan jika mereka bertobat dan meninggal dalam kasih Tuhan sebelum melunasi penitensi dosa mereka…, jiwa mereka dimurnikan setelah kematian dalam Api Penyucian” (Firenze).

Untuk membebaskan mereka, tindakan-tindakan silih (suffragia) dari para beriman yang masih hidup dapat membantu mereka, yaitu: Kurban Misa, doa-doa, derma, dan perbuatan kudus lainnya yang diberikan untuk umat beriman yang lain, sesuai dengan praktek Gereja. Hal demikian dinyatakan kembali dalam Konsili Trente, yang menegaskan keberadaan purgatorium, perlunya tindakan-tindakan silih (suffragia) dari para beriman untuk mendoakan jiwa-jiwa yang ada di dalamnya, terutama dengan Misa Kudus.

Paus Yohanes Paulus II dalam audensi umumnya (4 Agustus 1999) menjelaskan mengenai purgatorium (api pe-suci-an).

Bapa Suci menjelaskan bahwa integritas fisik adalah perlu untuk memasuki persekutuan sempurna dengan Allah. Oleh karena itu, istilah purgatorium tidak menunjuk pada tempat, melainkan kondisi keberadaan di mana Kristus menghapus sisa-sisa ketidaksempurnaan.

Purgatorium dalam artian tertentu dapat diartikan sebagai ”tempat” yang dikondisikan untuk menerima rahmat dari Tuhan. Melewati tahap ini berarti kehidupan di dunia ini telah berakhir (KGK. 1030). Hal ini mengharuskan manusia untuk hidup bersatu dengan Allah dan selamat ataukah sebaliknya.

Karena setiap umat beriman tidak sempurna maka pemurnian juga berlaku bagi kita semua. Kata “pemurnian” menunjuk pada orang beriman yang telah meninggal.

Paus yang sama juga (17 September 2002) menekankan pentingnya berdoa bagi jiwa-jiwa di api penyucian. “Bentuk belas kasih kepada sesama yang pertama dan terutama adalah kerinduan yang besar akan keselamatan kekal mereka dan cinta kasihlah yang memungkinkan kita untuk mengasihi mereka yang meninggal. Oleh karena itu maka bukan hanya keyakinan akan adanya api penyucian, melainkan mengenai kewajiban rohani untuk berdoa bagi mereka.

Kebiasaan umat Katolik adalah berdoa bagi mereka yang telah meninggal dunia baik dalam Misa ataupun ibadah-ibadah bahkan Misa di pekuburan (peringatan arwah semua orang beriman). Inilah jawaban atas pertanyaan purgatorium sebagai “tempat” pemurnian.

Berdoa bagi mereka adalah untuk keselamatan jiwa orang yang telah meninggal untuk bersatu dalam kebahagiaan di Surga (KGK. 1032). Itulah tugas kita yang masih hidup di dunia ini. Karena kesempurnaan kekal hanya dimiliki oleh Tuhan, maka manusia yang beriman pun harus dimurnikan lagi untuk masuk dalam kekudusan bersama Allah di Surga. Bukan “tempat”nya yang penting melainkan maknanya sebagai “pemurnian dan penyucian”.

Dalam kacamata teologis, Gereja sebagai satu persekutuan umat Allah terbagi dalam tiga kelompok yakni Gereja yang berziarah (masih hidup), Gereja yang dimurnikan (purgatorium), dan Gereja yang Berjaya (Surga).

Dalam kaitannya dengan purgatorium, satu aspek penting terakhir yang selalu ditunjukkan oleh tradisi Gereja dan perlu disadari saat ini ialah dimensi komunio.

Kenyataannya mereka yang berada dalam keadaan dimurnikan itu disatukan dengan mereka yang telah terberkati dan menikmati kepenuhan kebahagiaan kekal, dan juga disatukan dengan kita semua yang masih di dunia ini dalam peziarahan kita menuju rumah Bapa (KGK. 1032).

Sama seperti ketika hidup di dunia ini para orang beriman itu disatukan dalam satu Tubuh Mistik Yesus Kristus, demikian pula setelah kematian, mereka yang berada dalam keadaan pemurnian mengalami solidaritas ekklesial yang sama yang bekerja melalui doa-doa, doa silih dan cinta kasih bagi saudara-saudari dalam iman.

Purifikasi itu dijalani dalam kesatuan hakiki yang terjadi atau terjalin di antara mereka yang hidup di dunia ini dan mereka yang telah mengalami kebahagiaan abadi.

Cinta kasih Allah menjadi landasan akan peristiwa ini. Dalam sebuah kesempatan, Mother Angelica berkata dengan bijak, “Although you do not believe it, dear, it does not mean that it does not exist” (Meskipun kamu tidak percaya, itu tidak berarti Api Penyucian tidak ada). Inilah Purgatorium: antara pengertian dan penghayatan.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved