Keren! Inilah Orang Indonesia Pertama yang Berlari di Kutub Utara
Udara sangat kering. Apa pun yang berbentuk uap air langsung membeku. Goggle (kacamata) saya tidak bisa digunakan karena tertutup es.
Peserta umumnya berdatangan dari negeri empat musim, kecuali Hendra dan Than Juang dari Thailand. Mereka berada di antara 19 atlet yang berlomba di kategori 566 km.
Hanya delapan peserta, termasuk Hendra dan Than, yang berhasil menyelesaikan lomba hingga garis finis. Sisanya gagal karena berbagai sebab, termasuk cuaca yang sangat dingin, kelelahan, hingga cedera.
Peserta dapat beristirahat di lokasi pengecekan (check point) di sepanjang rute. ”Shalat kadang berdiri, kadang duduk dalam bivvy (mirip kantong tidur),” kata Hendra.
Saat itulah dia bisa istirahat dan mengisi perut. Pengusaha garmen itu membekali diri dengan makanan berupa power bar atau cokelat batangan. ”Celakanya, pas mau dimakan cokelat itu jadi keras sekali, enggak bisa digigit.
Saya mau siram air panas, tetapi tutup termos enggak bisa dibuka karena beku. Jadinya seperti membuka mur yang sudah berkarat. Kadang saya menahan minum sampai 30 km,” ujar Ketua Harian Persatuan Bola Basket Indonesia Kota Bogor 2006-2008 itu.
Kecepatan rata-rata berlari/ berjalan Ketua Umum Persatuan Atletik Seluruh Indonesia Kota Bogor 2010-2014 itu sekitar 5 km per jam.
”Padang mahsyar”
Kehadiran orang Indonesia dalam ajang Likeys 6633 Ultra 2015 sempat diragukan penyelenggara lomba. Mereka memperkirakan hyperman pertama Indonesia itu tidak akan sanggup menyelesaikan lomba.
”Mungkin karena tampang saya enggak ganas, minimalis, kecil, dan tenang. Saat awal lomba, saya pun berlari pelan,” katanya.
Setelah melalui hari kedua, Hendra menunjukkan kelasnya dan terus melangkah tanpa menyerah. Belakangan dia dijuluki ”Duracell Bunny”, merujuk ke sebuah iklan batu baterai yang menggambarkan seekor kelinci yang tak pernah lelah dan terus melangkah.
Walaupun mengaku tidak pernah berputus asa, Hendra menilai, lomba di Kutub Utara ini sesuatu yang luar biasa. Sering kali saat berlari dia merasa tidak fokus, mengantuk, capai, dan lapar.
”Saya terus berlari atau berjalan. Kalaupun pingsan, toh, nanti akan siuman kembali. Saya biasakan menuntaskan lomba hingga check point, tetapi makin ke ujung, suhu makin dingin dan lomba makin susah dijalani,” ujarnya.
Perjalanan di Kutub Utara mendekati 70 km menuju Tuktoyaktuk di Titik 0 Samudra Arktik sudah tidak ada lagi matahari. ”Semua tertutup awan, serba putih.
Saya sempat merasa sedang berada di padang mahsyar. Di Kutub Utara saja sudah menyeramkan berjalan atau berlari sendirian,” katanya.
Ditanya apa ada misi khusus agar pemerintah memperhatikan olahraga trail di Indonesia, dia hanya tertawa.
”Ha-ha, biar saja orang lain yang meminta. Kalau saya, akan jalan terus tidak ada yang bisa menghalangi.”