Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Peran Perempuan Minahasa

SEJAK 1908, sudah ada 6.056 murid perempuan Minahasa/Manado di antara 12.276 murid perempuan yang terdapat di luar Pulau Jawa dan Madura.

Editor: Andrew_Pattymahu
TRIBUNMANADO/WARSTEF ABISADA
Peserta diperiksa pihak keamanan sebelum memasuki lokasi sidang Sinode GMIM, Senin (24/3/2014). 

* Refleksi Historis untuk Pemilihan BPMS GMIM Menjelang SMS ke-77
Karolina Augustien Kaunang
* Dekan Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Tomohon

SEJAK 1908, sudah ada 6.056 murid perempuan Minahasa/Manado di antara 12.276 murid perempuan yang terdapat di luar Pulau Jawa dan Madura, sementara itu di Jawa baru terdapat 280 murid perempuan. Dalam kebanyakan sekolah/perguruan tinggi terdata lebih banyak perempuan daripada laki-laki, padahal berdasarkan data kependudukan kabupaten/kota se-Sulut yang dirinci menurut jenis kelamin pada 2003 menunjukkan penduduk laki-laki lebih banyak daripada penduduk perempuan.

Data-data ini menunjukkan bahwa sejak dulu anak perempuan Minahasa diberi kesempatan yang sama dengan anak laki-laki Minahasa untuk bersekolah. Tidaklah heran bila sejarah mencatat bahwa beberapa perempuan Minahasa menjadi pelopor dan pemimpin di bidangnya masing-masing. Sebut saja kepeloporan Marie Thomas yang tercatat sebagai dokter pertama Indonesia yang tamat dari STOVIA, sebuah sekolah yang mendidik dokter-dokter pribumi di Jakarta. Annie Manoppo adalah sarjana hukum pertama lulusan Jakarta yang kemudian menjadi dekan perempuan pertama di Fakultas Hukum Universitas Medan. Nona Politon sebagai pendiri dan rektor pertama Universitas Pinaesaan di Tondano/Manado. Di bidang politik, dirintis oleh Netty Waroh, seorang guru pada HIS berhasil menjadi anggota Dewan Rakyat Manado, Tinneke Waworuntu Kandow sebagai perempuan pertama yang diangkat menjadi Wali Kota Manado (1950-1952).

Dalam bidang pelayanan keagamaan, khususnya gereja Protestan, berikut ini beberapa nama dicatat, baik yang pernah menjabat maupun yang sedang menjabat, yaitu Pendeta Agustina Lumentut menjadi Ketua Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST), kemudian menjadi Wakil Sekretaris Umum PGI, Ketua Sinode Am Gereja-Gereja di Sulawesi Utara dan Tengah. Pendeta Detty Kani menjadi Ketua Sinode Gereja Kristen Luwuk Banggai (GKLB). Di lingkungan lembaga ekumenis yaitu Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), tercatat Pendeta Deetje Rotinsulu kemudian Pendeta Lilly Danes sebagai Kepala Biro Wanita, dan sekarang Pendeta Krise Gosal sebagai Sekretaris Eksekutif Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Pendeta Liesje Makisanti terpilih sebagai Sekretaris Umum Gereja Protestan Indonesia (GPI) dua periode, dan sebagai Anggota MPH PGI, pula sekarang ini sebagai Wakil Sekretaris Umum MPH PGI. Pelayanan Pendeta Liesje Makisanti di GPI sebagai Sekretaris, kini dilanjutkan oleh Pendeta Liesje Sumampouw. Demikian juga di level internasional, Pendeta Deetje Rotinsulu menjadi Koordinator Asian Basel Misison Fellowship. Pendeta Joyce Manarisip sekarang ini melayani sebagai Koordinator Program Mission 21 untuk Indonesia- Malaysia.

Dalam bidang pendidikan tinggi teologi yaitu Perhimpunan Sekolah-Sekolah Teologi di Indonesia (Persetia), Pendeta Maria Assa terpilih menjadi Anggota Pengurus (1998-2002), Pendeta Augustien Kaunang terpilih menjadi Wakil Ketua Pengurus (2006-2010). Bahkan di level internasional yaitu The Association for Theological Education in South East Asia (ATESEA), Pendeta Augustien Kaunang terpilih menjadi Anggota Pengurus Yayasan (board of trustees tahun 2013-2017).

Sampai pada tahap ini, saya baru fokus tahap awal mencatat nama-nama para perempuan dalam sejarahnya kaum perempuan Minahasa (herstory). Bagi saya tahap ini sangat penting untuk kemudian masuk pada tahap berikut yaitu untuk meneliti kinerjanya dan memberi refleksi teologis alkitabiah.
Lalu, bagaimana di GMIM? Sejak tahun 1995-2010, pendeta perempuan, lebih dari 60 persen melayani di aras basis yaitu jemaat teritorial sekaligus sebagai Ketua Majelis Jemaat. Namun, di aras wilayah sebagai Ketua dan di aras sinode sebagai Badan Pekerja Sinode/Badan Pekerja Majelis Sinode, tidak berbanding lurus dengan perannya di aras basis, alias sangat kurang. Bahkan di aras sinode pada periode berjalan ini (2010-2014) hanya satu pendeta perempuan. Kalau dalam periode sebelumnya pendeta perempuan ada dua orang, maka periode ini hanya satu orang.

Mari kita catat nama-nama mereka, Pendeta Wilhelmeintje Dumais, Pendeta Mite Lumi, Pendeta Liesje Makisanti, Pendeta Augustien Kaunang, Pendeta Maria Assa, Pendeta Sientje Abram, Pendeta Ketty Ticoalu, Pendeta Liesje Sumampow, Pendeta Altje Lumi. Baru dua kali, pendeta perempuan menjadi salah seorang Wakil Ketua Sinode yaitu Pendeta Maria Assa (2000- 2005 untuk bidang Personalia), dan Pendeta Altje Lumi (2007-2010 melanjutkan tugas Pendeta JM Saruan untuk bidang Ajaran Ibadat dan Tata Gereja). Sudah dua kali untuk jabatan Wakil Sekretaris yaitu Pendeta Liesje Sumampow (2005-2010) dan Pendeta Altje Lumi (2010-2014). Selain itu sebagai anggota, belum pernah dipilih sebagai ketua dan sekretaris, padahal ketua jemaat paling banyak adalah pendeta perempuan.

Mengapa GMIM belum memilih pendeta perempuan sebagai ketua sinode? Apakah belum ada yang berkualifikasi untuk aras sinode? Apakah perempuan hanya dapat menduduki posisi ketua bila ditunjuk/diangkat/ditetapkan seperti ketua jemaat dan wilayah, dan tidak dapat bila melalui pemilihan? Lalu, siapa yang memilih? Bukankah para pemilih utusan jemaat sebagain besar perempuan? Apakah perempuan sendiri tidak siap? Apakah perempuan tidak bersedia dipimpin oleh perempuan? Apakah di antara perempuan tidak saling mendukung? Apakah laki-laki tidak bersedia dipimpin oleh perempuan? Apakah laki-laki terlalu kuat, dan perempuan kalah bersaing? Mengapa para nominator calon BPMS untuk periode 2014-2018 hanya ada empat perempuan? Mengapa pendeta perempuan asal Minahasa (GMIM), dapat terpilih atau melalaui proses pemilihan, artinya dipercaya, di luar daerahnya sendiri, lalu, mengapa di daerahnya sendiri, di GMIM, tidak? Pertanyaan-pertanyaan ini masih dapat ditambah lagi oleh para pembaca tulisan ini untuk menggugah dan 'menggugat' kita warga GMIM menjelang pemilihan BPMS periode 2014-2018 yang sudah di depan mata.

Mari kita melirik gereja-gereja sahabat kita yang lebih muda seperti GKST yang pernah dilayani sebagai ketua sinode adalah pendeta perempuan asal Minahasa, yaitu Pendeta Agustina Lumentut, dan sekarang sedang dilayani oleh seorang pendeta perempuan, yaitu Pendeta Juberlian Padele. Juga GKLB, yang pernah dilayani dua periode sebagai Ketua Sinode oleh seorang pendeta perempuan asal Minahasa, yaitu Pendeta Detty Kani. Kita lirik pula GMIBM yang kini dilayani sebagai ketua sinode oleh seorang pendeta perempuan, dan sekarang ia menjabat dalam periode kedua, yaitu Pendeta Christina Pangulimang. Pendeta Detty, Pendeta Juberlian, dan Pendeta Christina adalah alumni Fakultas Teologi UKIT. Kenyataan ini menjadi tantangan bagi kepemimpinan GMIM di aras sinodal.

Sebagai seorang yang pernah meneliti dan menulis Pemahaman Teologis tentang Perempuan dalam Konteks Budaya Minahasa (tahun 1987-1989/1991) dan yang mengajar mata kuliah Teologi Feminis sejak 1991 - mata kuliah ini tercatat yang pertama diajarkan di sekolah-sekolah teologi di Indonesia - saya tergugah untuk meneliti lagi dengan bantuan pertanyaan ini: mengapa sampai sekarang GMIM belum memilih pendeta perempuan dalam posisi sebagai ketua sinode? Di area publik, pendeta atau tamatan teologi, dapat terpilih dan melayani sebagai Ketua DPRD Sulut, yaitu Pendeta Meiva Lintang, terpilih menjadi Ketua KPU Minahasa dan kini KPU Sulut, yaitu Yessy Momongan. Bukankah sebagian besar pendeta muda GMIM, baik perempuan dan laki-laki, adalah alumni Fakultas Teologi tahun 1990-an? Pertanyaan ini menjadi penting, mengingat para pendeta perempuan yang pernah dan sedang melayani di aras sinode, baik di GMIM maupun di gereja-gereja sahabat adalah alumni sebelum tahun 1991. Lalu, bagaimana dengan yang tamat tahun 1990-an. Demikian pula di GMIM dan juga di gereja-gereja sahabat yang disebutkan di atas sedang dilayani oleh para pendeta laki-laki yang tamat tahun 1990-an. Mengapa para pendeta laki-laki di gereja-gereja sahabat dapat memilih pendeta perempuan, lalu, bagaimana di GMIM?

Semoga data historis dan pertanyaan-pertanyaan sebagai refleksi pribadi warga GMIM di atas dapat terjawab dalam Pemilihan BPMS dalam Sidang Majelis Sinode ke-77 GMIM di Bukit Inspirasi Tomohon, 24-28 Maret 2014.
Selamat bersidang gerejawi.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved