Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Bulutangkis

Gunawan Bertemu "Manusia Ular" di Amerika

Sebagai pemain spesialis ganda, Gunawan sendiri pernah merebut medali perak Olimpiade Barcelona 1992

Editor:
Tjahjo Sasongko/Kompas.com
Rudi Gunawan (depan) berpasangan dengan Antonius BS di acara Candra Wijaya Cup pekan lalu. 

TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Kejenuhan pada dunia bulu tangkis lah yang justru mendorong pahlawan Piala Thomas, Rudi Gunawan pindah ke Amerika.

Gunawan merupakan bagian dari "winning teams", skuad Indonesia dekade 1990-an yang menguasai Piala Thomas antara 1994-2002, merebut medali emas Olimpiade 1992-2000 dan banyak gelar lainnya.

Sebagai pemain spesialis ganda, Gunawan sendiri pernah merebut medali perak Olimpiade Barcelona 1992,  menjadi juara ganda putera All England 1992 dan 1994  serta menjadi juara dunia pada 1993. Ia juga memperkuat tim Piala Thomas Indonesia pada 1992-1996. Setelah tampil di Olimpiade Atlanta 1996, ia memutuskan mengundurkan diri.

"Tidak tahu, saat itu saya tiba-tiba merasa sudah pada titik jenuh pada bulu tangkis. Bahkan melihat raket saja rasanya sudah tidak berhasrat samasekali,"  kata Gunawan saat pulang ke Indonesia, pekan lalu. Gunawan bersama pasangannya, Eddy Hartono mendapat penghargaan sebagai ganda putera legendaris dari mantan  pemain ganda putera nasional, Candra Wijaya.

Di Olimpiada Atlanta 1996, langkah Gunawan terhenti oleh pasangan Malaysia, Cheah Soon Kit/Yap Kim Hock. "Sebenarnya sebagai pemain saya selalu harus  berprinsip menang atau kalah itu hal biasa. Namun saat itu, saya tiba-tiba merasa ini adalah pertanda bagi saya untuk berhenti sebagai pemain," kata Gunawan.

Gunawan yang berkecimpung di dunia bulu tangkis sejak SMP merasa inilah saat yang tepat untuk meninggalkan dunia ini. "Saat itu saya tiba-tiba merasa kehilangan gairah kepada bulu tangkis. Bahkan melihat raket pun saya tidak mau," kata Gunawan.

Ini jelas bukan keputusan yang mudah, terutama buat mantan pasangannya. Tetapi buat Gunawan ini adalah satu-satunya jalan ke masa depan. "Saya katakan kepada pelatih dan pasangan saya bahwa sekarang saatnya mereka berjuang tanpa saya. Mereka harus menemukan pasangan lain yang sehati dan sesuai dengan standar mereka.  Ini adalah takdir yang sudah Tuhan gariskan buat saya," kata Gunawan mengenang saat itu.

Saat itu, Gunawan memang telah berusia 30 tahun. Ia juga telah berkeluarga dan menikah dengan Febijane Nita Lumingkewas, wanita yang dijumpainya saat   bertandang ke kedutaan besar Indonesia di malaysia pada 1989. "Nita pulah-lah yang memberanikan diri saya untuk mengambil langkah besar setelah ternyata kehidupan di luar memang tak sejelas kondisi dalam pelatnas bulu tangkis," kata Gunawan.

Saat itu religiositas Gunawan memang sedang menanjak. "Saya dibaptis sebagai seorang Kristen pada 1994 setelah selama puluhan tahun saya seperti seorang yang tidak memiliki pegangan," kata Gunawan.

Dengan keyakinan seperti ini pulalah Gunawan mengiyakan saja ketika Nita mengajak mereka sekeluarga pindah ke Amerika pada 1999.  "Saat itu saya blank saja.  Tidak tahu akan jadi apa dan hidup seperti apa di Amerika," kata Gunawan.

Ia mengaku tidak pandai berbisnis karena hampir separuh hidupnya diisi dengan bulu tangkis. "Sulitnya, saya juga sudah kehilangan gairah terhadap bulu tangkis. Jadi ketika ada seorang pengusaha asal Thailand menawarkan saya untuk mengelola klubnya di Amerika, saya langsung tolak," kata Gunawan.

Nyatanya, keluarga Gunawan dan Nita  hingga kini masih tinggal di wilayah Orange County, california, AS. Gunawan mewujudakan impiannya untuk menjadi seorang pendeta dan mendirikan jemaat di sana. "Sejak usia belasan tahun saya memang diramal akan menjadi soerang pendeta. Hal yang selalu saya sangkal, bahkan si peramal itu pernah saya usir. Tetapi kalau sekarang saya selalu mengatakan: rencana Tuhan tidak pernah ada yang tahu..."

Gunawan bahkan kemudian ikut sekolah pendeta di Amerika dan lulus. Ia menulis semua pengalman religiositasnya selama menjadi pemain  bulu tangkis atau masa-masa setelah itu dalam skripsinya. Skripsi ini kemudian dibukukan  dengan judul, "Redemption: A Story  From Darkness to Light" dan ditulis kembali oleh Lisa  F. Siregar pada 2011.

"Saya merasa pengalaman saya sebagai pendeta di Amerika tidak kalah serunya dibandingkan saat saya masih aktif sebagai pemain. Saya pernah  melakukan upacara pengusiran roh jahat pada salah satu jemaah saya. Si korban ini tiba-tiba menatap saya dan bergerak keliling ruangan dengan  ngesot seperti ular sambil mengeluarkan suara berdesis seperti ular," katanya.

Pengalamn religius itu ia rasakan sendiri saat putra ketiganya masih dalam kandungan. "Saat itu dokter mengatakan isteri saya hamil anggur. Kandungannya  hanya berisi air.  Padahal itu sudah jalan empat bulan. Saya katakan tidak ingin digugurkan, beri kami kesempatan satu bulan," kata Gunawan.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved