DPRD
Agar Duduk di DPRD SULUT Kotambunan Keluarkan Rp 2,9 Miliar
Saya sudah baca juga hasil penelitian itu.
Penulis: | Editor:
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menyatakan sebagian besar orangtua tak ingin anaknya jadi wakil rakyat, mendapat tanggapan. Wakil Ketua DPRD Sulut, Arthur Kotambunan kepada Tribun Manado mengaku juga tak ingin anaknya menjadi anggota dewan sama seperti dia, Minggu (18/11/2012). Ia bahkan secara blak-blakkan mengakui, untuk menduduki kursi DPRD Sulut ia harus mengeluarkan kocek pribadi dengan angka fantastis hingga Rp 2,9 miliar.
Alasan inilah yang menurutnya orang perlu berpikir dua kali kalau ingin menjadi anggota dewan. Biaya untuk meraih kursi tersebut sangat besar karena kondisi politik di Indonesia yang tak sama dengan negara maju.
"Saya sudah baca juga hasil penelitian itu. Prinsipnya, semua kalau dijalani sesuai aturan, dengan kredibilitas mau mengabdi, mau membangun mungkin tak akan mendapatkan citra seperti ini," ujarnya. Ia melihat, fenomena sekarang ,lebih banyak calon ketika ingin jadi wakil rakyat harus membayar uang dukungan atau mengganti berbagai biaya untuk pencalonan. Masalahnya bila calon anggota dewan tak miliki modal ia meyakinkan sanga sulit untuk bisa berhasil.
Menurut pria yang dikenal terbuka dalam berikan informasi pada publik ini, Indonesia berbeda dengan negara maju satu di antaranya seperti di Amerika. Ia mencontohkan, bila di negara maju kandidat dibiayai oleh suporter. Kalau di Indonesia sekitar 80 hingga 90 persen ia nilai harus dibumbui dengan materi baru jelas kemana warga memilih. "Mereka tak pusing siapa yang terpilih asal dapat uang, sehingga survei ini wajar. Orangtua tak mau anaknya merasakan seperti itu, semua kandidat seolah diperas," katanya.
Sebagian besar orang akan bertanya berapa uang yang akan dikasih kandidat masalahnya kalau modal cekak bagaimana. Maka ia menilai normal bila mendagri menengarai ada yang berusaha untuk mengembalikan modal. Ia berharap ke depan hal ini bisa diminimalisasi mengingat saat ini tak punya uang kandidat tak akan berhasil. "Tak mungkin modal ludah. Memangnya free untuk advertising, untuk bayar makan. Aku keluar uang untuk organisasi-organisasi baik anak, remaja hingga pemuda," jelas dia.
Ia juga menilai tak aneh bila ada anggota dewan yang jarang 'ngantor' karena warga yang datang bukan aspirasi benar. Kotambunan bahkan menghitung dari 9 warga yang datang, ada 10 yang minta uang. Ia sengaja angka yang datang lebih kecil dari jumlah minta uang, sebagai penegasan bahwa orang yang menminta uang cukup banyak.
"Istri saya tanya, dalam 6 bulan ini kok kita ngeluarin Rp 600 juta sekian. Sebanyak itu untuk apa? Saya bilang itulah cost politik, bisa dihitung bila sehari rata-rata keluar Rp 5 juta, bila dikalikan sebulan wajar kalau banyak juta," katanya, kemudian tertawa.
Ia menghitung untuk maju sebagai kandidat calon di provinsi ia membutuhkan dana pribadi Rp 2,9 miliar. Itu merupakan catatan pengeluaran pribadi, biaya tak murah ketika harus mengunjungi sebuah rumah ibadah misalnya, tak mungkin ia tak keluarkan sumbangan, lalu belum untuk konsumsi. Meski demikian ia menilai pengeluaran tersebut masih wajar karena ada temannya yang keluar hingga Rp 3,4 miliar. "Ini tak mudah, kita belum mampu berdemokrasi maka pantas ada yang tersangkut korupsi. Catatan Kompas (Surat kabar) ada 281 pejabat tersangkut masalah hukum," katanya.
Menjadi anggota dewan menurutnya memang harus benar-benar pengabdian dan harus memiliki basic keuangan kuat, ia sendiri mengaku bila menghitung apa yang dihasilkan di dewan tak cukup. Mulai dari gaji yang ia terima Rp 7, 6 juta lalu bila ada perjalanan dinas paling besar misalnya ia mendapatkan Rp 20 juta per bulan, tak akan cukup dengan uang yang dikeluarkan. "Sekarang aja ada 6 SPPD yang terlambat dan belum dibayar oleh kesekretariatan," jelasnya.
Hal itulah yang menurutnya saat ini dilihat oleh para orangtua. Perbedaan dengan dulu, bila tahun periode 2004-2009 anggota dewan di daerah mungkin masih memiliki kuasa. Namun setelah saat ini muncul UU Tahun 32 anggota dewan juga disebut sebagai pemerintah. Bila pemerintahan dinilai gagal, anggota dewan juga yang dinilai gagal. "Saat ini semua tunjangan besar lama-lama dikerdilkan. Contohnya tunjangan komunikasi intensif dulu sempat capai Rp 35 jutam, bahkan setelahnya tunjangan menjadi Rp 7 juta per bulan saja ada yang hingga anggota dewan meninggal ada yang belum mengembalikan uang yang kadung dibayarkan," imbuhnya.
Maka ke depan ia nilai jangan pernah berani menjadi anggota dewan bila belum mapan secara ekonomi. Perkecualian bagi pensiunan, ia nilai para pensiunan dinilai pas. "Kalau anda tidak mapan bahaya sekali," pungkasnya.
Sumber : Tribun Manado Cetak