Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Proyek Geotermal di Indonesia Kebagian Dana Rp 15 Triliun

Para pejabat pengawas Dana Iklim Hijau sepakat untuk mulai mencari uang lagi tahun depan karena modal awal sekitar 6,6 miliar dolar akan segera habis.

KOMPAS/YULVIANUS HARJONO
Sumur geothermal di PLTP Ulu Belu, Tanggamus, Provinsi Lampung, Rabu (27/2/2013). 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Sejumlah proyek geotermal di Indonesia akan mendapatkan bantuan dari dana yang didukung PBB.

Dana Iklim Hijau, demikian namanya, telah disetujui oleh PBB, Minggu (22/10/2018), untuk disalurkan bagi 19 proyek baru di sejumlah negara di dunia, termasuk Indonesia.

Warta Voice of America, Selasa (23/10/2018), menyebut dana sebesar 1 miliar dolar atau Rp 15 triliun, persisnya Rp 15.186.950.000.000 (kurs Rp 15.186), itu disediakan untuk membantu negara-negara berkembang mengatasi perubahan iklim.

Dalam pertemuan empat hari di Bahrain yang berakhir Sabtu malam, para pejabat yang mengawasi Dana Iklim Hijau juga sepakat untuk mulai mencari uang lagi tahun depan karena modal awal sekitar 6,6 miliar dolar akan segera habis.

Dana yang berbasis di Korea Selatan, yang dianggap sebagai wadah penting bagi program-program pembangunan terkait iklim, tadinya dimaksudkan untuk menerima lebih dari 10 miliar dolar dari negara-negara kaya tahun 2018.

Baca: Pemkab Boltim Manfaatkan Energi Geothermal Di Gunung Ambang, Soni: Izinnya Berproses

Tapi keputusan Presiden AS Donald Trump untuk menahan 2 miliar dolar dari 3 miliar dolar yang dijanjikan pendahulunya, Barack Obama, telah menyebabkan kurangnya anggaran.

Selain proyek-proyek terkait energi geotermal di Indonesia, pendanaan yang disetujui dalam pertemuan di Manama itu termasuk juga untuk kota-kota lebih hijau di Eropa dan Timur Tengah, dan perlindungan bagi komunitas pantai di India.

Tapi para delegasi berselisih soal permintaan dari negara tuan rumah Bahrain untuk menerima pendanaan untuk melindungi sumber-sumber air segarnya.

Para pakar lingkungan telah mengatakan bahwa negara Teluk itu bisa mendanai proyek itu menggunakan uang yang dihasilkannya sendiri dari persediaan minyak dan gas yang besar.

Proyek itu pada akhirnya disetujui, tapi hanya dengan 2,1 juta dolar dari 9,8 juta dolar yang diminta Bahrain.

Baca: Gubernur Teken Kerja Sama Geothermal dengan Selandia Baru

Keputusan mengenai permohonan pendanaan oleh Cina ditunda setelah keprihatinan dari Jepang dan AS mengenai kemungkinan bahwa uang itu bisa digunakan untuk menyubsidi riset teknologi baru.

Perdebatan mengenai dana itu terkadang memecahkan negara-negara Barat dan ekonomi-ekonomi berkembang yang besar seperti Cina, Mesir, dan Arab Saudi.

Direktur terakhir dana itu, Howard Bamsey, mengundurkan diri bulan Juli setelah apa yang para pejabat gambarkan sebagai pertemuan yang "sangat sulit dan mengecewakan."

Pertemuan terakhir itu terjadi beberapa minggu sebelum sebuah KTT di Katowice, Polandia, mengenai masa depan perjanjian iklim Paris 2015.

Pendanaan bagi negara-negara berkembang untuk memitigasi dan beradaptasi dengan pemanasan global juga akan menjadi pusat diskuisi pertemuan itu. (*)

Sumber: VOA

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved