Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Parpol Dicurigai Ingin Selamatkan Caleg Mantan Koruptor

Mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay curiga partai politik memang memiliki banyak kader mantan

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
Kompas.com
Menkumham Yasonna Laoly 

TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay curiga partai politik memang memiliki banyak kader mantan narapidana kasus korupsi yang hendak dicalonkan sebagai anggota DPR RI atau DPRD Kabupaten/Kota.

Oleh karena itu, para politisi yang berada di DPR dan pemerintah ramai-ramai menolak Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 yang berisi larangan mantan napi kasus korupsi maju dalam pemilihan legislatif. "Bisa jadi, dalam rangka melindungi calon-calon tertentu. Jangan-jangan memang ada calonnya mantan koruptor yang ingin diselamatkan," kata Hadar saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, Selasa (3/7).

Hadar menilai, seharusnya DPR dan pemerintah bisa menghormati kewenangan KPU untuk membuat aturannya sendiri. Sebab, KPU adalah lembaga penyelenggara pemilu yang independen. "Jadi jangan juga kita mencoba menekan KPU," ujarnya.

Ia menceritakan, selama menjabat sebagai komisioner KPU, tak pernah ada peraturan yang mendapat penolakan luar biasa seperti sekarang ini.

Menurut dia, baru kali ini Kementerian Hukum dan HAM sampai menolak untuk mengundangkan peraturan yang telah dibuat KPU. Akibatnya, status PKPU 20/2017 pun menjadi tidak jelas. "Padahal, pendaftaran caleg sudah dibuka besok. Kalau seperti ini, apa mau kita bilang, pemerintah ini yang ganggu pemilu?" ujarnya.

Menurut Hadar, Yasonna Laoly selaku Menkumham laik ditegur oleh Presiden Jokowi karena sikapnya melangkahi presiden.

"Mari kita lihat presiden. Presiden mengatakan, urusan terakhir finalnya itu adalah KPU. Kita harus dengarkan. Tapi saya bingung, presiden punya posisi A tapi membiarkan betul sehingga tidak seperti ini," ujarnya.

Hadar juga mempertanyakan, mengapa menteri bisa mempunyai sikap berbeda dengan presiden. Padahal, Jokowi selaku presiden telah memberikan sikap mendukung langkah KPU. "Kalau KPU sudah memutuskan, finalnya di mereka. Kita harus hormari. Nah seharusnya menteri-menteri juga begitu. Terus menteri-menterinya pemerintahan siapa kalau begitu?Agendanya siapa?" tandasnya.

Setelah sempat mendapat penolakan dari pihak DPR dan partai politik, akhirnya KPU menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kota pada 30 Juni 2018. Ketua KPU Arief Budiman mengklaim PKPU tersebut sah dan bisa diberlakukan meskipun belum diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.

Pasal 7 Ayat (1) huruf h PKPU tersebut mengatur syarat pendaftaran calon legislatif adalah bukan merupakan mantan terpidana kasus korupsi atau mantan napi koruptor, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak.

Alhasil, peraturan KPU tersebut kembali mendapatkan penolakan, termasuk dari Menkumham Yasonna Laoly.

KPU mengumumkan PKPU tersebut pada saat itu karena harus mematuhi tahapan pemilu, di antaranya partai politik peserta pemilu harus mendaftarkan calegnya pada 4-17 Juli.

Lantas, Menkumham Yasonna Laoly kembali menolak untuk mengundangkan PKPU 20/2018. Kemenkumham yang berisi larangan mantan napi korupsi ikut pileg tersebut. Ia meminta pasal tersebut dihapus dari PKPU karena bertentangan dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Pasal 240 ayat 1 huruf g UU Pemilu menyatakan, seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih, boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan pernah berstatus sebagai narapidana kepada publik.

Dia juga menegaskan, PKPU yang mengatur larangan eks koruptor maju di pileg 2019 tidak akan berlaku jika tidak diundangkan. "Tidak bisa (berlaku), batal demi hukum," kata Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved