Breaking News
Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

GAMKI Sulut Tolak Pilkada oleh DPRD, Begini Kata Liando!

Wacana pemerintah pusat dan DPR RI untuk mengalihkan proses pilkada melalui DPRD, mendapat penolakan dari GAMKI Sulawesi Utara (Sulut).

Penulis: | Editor: Alexander Pattyranie
ISTIMEWA
Jeferson Petonengan & Ferry Liando 

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Wacana pemerintah pusat dan DPR RI untuk mengalihkan proses pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD, mendapat penolakan dari Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) Sulawesi Utara (Sulut).

Sebab, proses pilkada secara langsung seperti yang dilaksanakan saat ini lebih tepat dibandingkan harus kembali ke DPRD.

"Jika pilkada dilakukan DPRD, maka itu sama saja mengembalikam kedaulatan dan kekuasaan ke tangan partai politik, tak lagi kepada rakyat. Jafi, baiknya sistem pemilihan langsung oleh rakyat seperti sekarang ini tetap dipertahankan," kata Jeferson Petonengan, Pelaksana tugas (Plt) Ketua GAMKI Sulut, Selasa (17/4/2018).

Pilkada lewat DPRD menurut Petonengan tak pas dijalankan di Indonesia.

Sebab tak mencerdaskan rakyat dalam berdemokrasi mengingat yang terlibat didominasi oleh elit politik partai.

"Harus diakui pemilihan langsung ada banyak kurangnya, jadi kekuranhan itu yang mesti dibenahi, bukan dengan mengganti sistemnya ke DPRD," ungkapnya.

Ferry Laindo, Dosen Fisip Unsrat Manado mengatakan, adanya usulan atau wacana Mendagri bahwa pilkada akan dipilih oleh DPRD menurutnya, patut dimaklumi.

Sebab, bagi yang memandang roh demokrasi sebagai visi negara, pandangan itu bukanlah sesat apalagi gagal paham.

"Biaya Pilkada masih dianggap sangat mahal (Pilkada di 171 daerah tahun 2018 dianggarkan 15-20 triliun) serta efek konflik yang rawan memecah belah. Ironisnya dua masalah besar ini ternyata tidak bersinergi dengan hasil yang diperoleh. Kepala daerah yang terpilih kerap hanya memanfaatkan kekuasaanya dengan memperkaya diri, disharmoni dengan pasangannya, keterbatasan inovasi dalam mengembangkan daerahnya serta ada sebagian yang memiliki rekam jejak moralitas yang tidak patut untuk diteladani," katanya.

Bagi yang berpikir normatif, menurut Liando wacana itu sama dengan tidak menghormati kedaulatan rakyat, tidak sejalan dan bertentangan dengan prinsip otonomi daerah, dan sebagian menganggap menentang kearifan lokal.

"Bagi yang berpikir pragmatis, rupa-rupa argumentasi bermunculan. Sebagian cukup menggelitik. Bagi lembaga survei, tentu wacana ini akan mengganggu kerja-kerja profesional mereka karena akan kehilangan pasar. Bagi media, kontrak iklan pencitraan calon tak akan ada lagi. Bagi pengusaha sablon baik untuk baliho, stiker dan kaos tentu tak ada kesempatan bagi pemesan. Bagi penyelengara kepemiluan tentu akan berdampak pada pengurangan program dan kegiatan karena hanya melaksanakan tahapan Pilpres dan pilcaleg dan bahkan bisa terjadi pengurangan jumlah penyelenggara sehingga membatasi ruang aktivis kepemiluan untuk menjadi penyelenggara," tegasnya.

Bagi ASN yang sulit mendapatkan jabatan melalui proses sistem merit, kata Liando tentu tak mendapatkan kesempatan lagi untuk menjadi tim sukses sebagai jalan pintas untuk mendapatkan jabatan instan kelak. Bagi sebagian pengusaha tentu tertutup peluang baginya untuk mengeksploitasi sumber daya alam di daerah karena tak bisa lagi membiayai kampanye pemenangan calon. Bagi tokoh masyarakat dan kaum pengangguran, akses sumber pendapatan tak ada lagi karena tidak ada kesempatan lagi menjadi tim sukses. "Akan banyak pihak yang nantinya tidak mendapatkan keuntungan jika Pilkada oleh DPRD. Oleh karena itu ada sebagian dari kelompok ini yang menggerakkan dan menggelorakan menentang wacana ini. Tidak peduli dengan anggaran negara yang terkuras membiayainya, tidak perlu dengan perpecahan yang mengancam akibat pilkada, tidak peduli dengan mewabahnya koruptor akibat biaya Pilkada meroket dan tidak peduli lingkungan menjadi rusak karena eksplorasi dan eksploitasi Sumber daya alam oleh pengusaha yang mendapat ijin penguasa setempat sebagai kompensasi pembiayaan kampanye pilkada," tuturnya.

Persoalan pilkada kata Liando, bukan ditentukan pada kedua skenario apakah pemilihan kepala daerah oleh DPRD atau dipilih langsung oleh rakyat.

Sebab, keduanya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan tidak bisa disebutkan bahwa salah satunya tidak demokratis.

"DPRD adalah produk pemilu, mereka diberikan mandat sebagai representasi rakyat untuk cita-cita besar yakni masyarakat adil dan makmur. Sehingga apapun yang menjadi produk poltik mereka tidak bisa disebut tidak demokratis. Namun untuk mendorong kedewasaan berpolitik, masyarakat dapat diberikan tanggung jawab untuk menentukan sendiri siapa pemimpin yang mereka inginkan, itulah sebabnya mengapa Pilkada langsung oleh masyarakat tetap dianggap penting. Makanya dalam prinsip otonomi daerah, tidak hanya menekankan pada soal distribution of power, tetapi juga soal partisipation of power," tuturnya.

Halaman
12
Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved