Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Tajuk Tamu

Kebebasan Pers Perspektif Hukum

Secara umum pengertian Pers adalah badan yang membuat penerbitan media massa secara berkala.

Editor:

Menurut UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, pengertian pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi : mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan meyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia

Pengertian Kebebasan pers dalam arti luas adalah pengungkapan kebebasan berpendapat secara kolektif dari hak berpendapat secara individu yang diterima sebagai hak asasi manusia. Hak Publik untuk tahu adalah inti dari kemerdekaan pers, sedangkan wartawan profesional, penulis, dan produsen hanya pelaksanaan langsung. Tidak adanya kemerdekaan atau kebebasan pers berarti tidak terlaksananya hak asasi manusia.  
Falsafah atau filosofi Pers yang fundamental terdapat pada karya Siebert, Peterson dan Schramm yakni “Four Theories of the Press” (empat teori tentang pers) yang diterbitkan universitas Illinois tahun 1956. Juga bisa ditelaah teori yang dikemukakan Rivers, Schramm dan Christians dalam buku mereka berjudul “Responsibiliti in Mass Communication” (1980). Sibert dkk, maupun Rivers dkk. mewakili pandangan Barat yang pada dasarnya mengembangkan tiga cara dalam mengaitkan pers dan masyarakat. ketiga cara tersebut masing-masing melibatkan definisi yang berlainan tentang manusia, tentang Negara, tentang kebenaran dan tentang perilaku moral. Hanya saja bagi Sibert dkk, ketiga cara tersebut merupakan landasan lahirnya empat teori tentang pers.

Selama ini banyak pendapat menyatakan bahwa pers Indonesia dimulai Sejak dibentuknya Kantor berita ANTARA yang didirikan tanggal 13 Desember 1937 oleh beberapa anak muda seperti Soemanang (29 thn), A.M. Sipahoentar  (23 thn), Adam Malik (20 thn)dan Pandu Kartawiguna. Namun, pendapat ini diragukan sebagian kalangan jika melihat catatan sejarah betapa Harian Sin Po pada 10 November 1928 telah memuat syair Lagu Indonesia Raya dan berita tentang Sumpah Pemuda.

Sesungguhnya, di Batavia (Jakarta) Hindia Belanda pada Agustus 1744 telah ada surat kabar pertama yakni ‘Bataviasche Nuvelles en politique Raisonnementen’. Namun pada Juni 1776 surat kabar ini ditutup pemerintah Hindia Belanda. Kebijakan soal Pers di masa kolonial mulai diberlakukan ketika pasal tentang pers dimuat dalam Regerings Reglement 1854 Hindia Belanda yang dilanjutkan dengan adanya UU Pers Drukpersreglement tahun 1856. Pada tanggal 7 September 1931, terbit kebijakan pemerintah Hindia Belanda tentang Pers breidel ordonantie.
Pers dimasa pendudukan Jepang lebih pada tindakan represif dan tidak adanya kekebasan pers. Pers dianggap sebagai media propaganda hal ini setidaknya dapat dilihat beberapa surat kabar sunda bersatu diganti dengan terbitnya surat kabar baru Tjahaja (Otista), beberapa surat kabar di Sumatera ditutup dan diganti dengan Padang Nippo (melayu) dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji).

Awal kemerdekaan dan sebagai bentuk perlawanan, tokoh-tokoh nasionalis banyak yang berasal dari kalangan pers seperti Soekarno, Hatta, Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain. Ironisnya saat Soekarno menjadi Presiden kebijakan soal pers dibarengi dengan kebijakan represif yang menekan pers. Masa Demokrasi Terpimpin, tahun 1960 perusahaan pers diwajibkan mengajukan permohonan SIT (Surat Ijin terbit) & SIC (Surat ijin Cetak). Pada bagian bawah permohonan SIT tercantum 19 pasal pernyataan yang mengandung janji penanggung jawab surat kabar yaitu jika ia diberi SIT akan mendukung Manipol-Usdek dan akan mematuhi pedoman yang telah dan akan dikeluarkan oleh penguasa. Pernyataan ini dengan mudah dipergunakan oleh penguasa sebagai alat penekan terhadap Pers.

Pada masa rezim orde baru, kalangan pers membuat Deklarasi Wartawan Indonesia yang dihasilkan oleh konferensi Kerja PWI di Pasir Putih Jawa Timur pada tanggal 13-15 Oktober 1966 sebagai reaksi atas ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 pada tanggal 6 Juli 1966. Pada tanggal 12 Desember 1966 Dikeluarkan UU no. 11 tahun 1966 tentang Pokok Pokok Pers. Kemudian dirubah melalui Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967  tentang Perubahan atas UU No. 11 tahun 1966  tentang Pokok-Pokok Pers. Tahun 1982 Dirubah lagi dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 Tentang Pokok-Pokok Pers.

Tahun 1980-an era Harmoko menjadi Menteri Penerangan dan saat UU No. 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers dimana pada pasal 13 (5) diberlakukan ketentuan tentang Surat Ijin Penerbitan usaha Pers (SIUPP) yang kemudian terbitlah Peraturan Menteri Penerangan No. 1 tahun 1984  tentang Surat Izin Usaha penerbitan Pers (SIUPP). Akibat kebijakan ini, pers terbeleggu. Kasus yang sempat menghebohkan adalah ketika terjadi Pembredelan Tempo, Detik, Editor pada tanggal 21 Juni 1994.

Era reformasi, Presiden Habibie menerbitkan UU Pers No. 40 tahun 1999 pada tanggal 23 September 1999 sebagai pengganti UU pers yang represif dan membelenggu kebebasan pers. Menteri Penerangan era Presiden Habibie, Yunus Yosfiah mencabut Peraturan Menteri Penerangan No. 1 tahun 1984 tentang SIUPP yang dikeluarkan Harmoko. Yang paling fenomenal tentunya ketika Gus Dur sapaan akrab KH. Abdurrahman Wahid sebulan setelah menjadi Presiden tepatnya November 1999 membubarkan Depertemen Penerangan.

Kebebasan Pers (Freedom of the press) adalah Hak yang diberikan secara konstitusional atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebar luaskan, pencetakan dan penerbitkan surat kabar, majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah.

Kebebasan Pers menurut UU Pers No. 40 tahun 1999 termuat dalam pasal 4 yakni (Pasal 4 ayat 1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga Negara. (Pasal 4 ayat 2) terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. (Pasal 4 ayat 3) menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. (Pasal 4 ayat 4) dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak Tolak.

Bahkan untuk menjamin kebebasan pers, dimuat ketentuan pidana pada pasal 18 yang berhubungan dengan ketentuan pada pasal 4 yakni “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah)”.

Menjadi pertanyaan kemudian apakah UU No. 40 tahun 1999 masih memberikan amanat terhadap kebebasan pers ? beberapa kasus yang terjadi kemudian menguji soal kebebasan pers tersebut. Tahun 2003, perseteruan Kasus Tempo dan Tommy Winata dalam perkara No.1426/Pid.B/2003/PNJKT.PST di pengadilan Jakarta Pusat serta kasus Pencemaran nama baik yang dilaporkan Irjen Pol SISNO ADIWINOTO dalam Perkara No. : PDM-178/MKS/Ep.1/02/2009 di Pengadilan Negeri Makasar setidaknya menyiratkan adanya kriminalisasi terhadap pers dan kerja-kerja jurnalisme.

Betapa media juga dibuat terperangah ketika kasus Prita Mulyasari bergulir di Pengadilan Negeri Tangerang karena mengeritik Rumah Sakit Omni Internasional (2009) putusan kasasi MA tahun 2011, Prita dihukum 6 bulan penjara  masa percobaan 1 tahun dan koin untuk prita menunjukkan suatu bentuk dukungan dan perlawanan masyarakat. Kasus Prita yang diberitakan di media juga setidak-tidaknya menjelaskan tentang peran dan fungsi pers sebagaimana amanat  Pasal 6 huruf d UU No. 40 tahun 1999 yakni fungsi pers untuk Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.  

Kasus lainnya terjadi pada Kho Seng Seng yang terjerat kasus pidana akibat tindakannya menulis surat pembaca di Kompas (26 September 2006) berjudul “Duta Pertiwi Bohong” & di Suara Pembaruan (21 November 2006) berjudul “Jeritan Pemilik Kios ITC Mangga Dua” .  PT. Duta Pertiwi Tbk melaporkannya, divonis Pengadilan negeri Jakarta Timur 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun dan dituntut oleh MA membayar denda satu milyar.

Di Manado, betapa banyak kasus yang menimpa para pekerja pers, wartawan atau jurnalis yang beberapa diantaranya penulis dampingi untuk mendapatkan keadilan. Kasus pembunuhan wartawan harian Metro Aryono Linggotu dan kasus yang menimpa Michele De Jonker wartawan Trans7 di pengadilan negeri Manado adalah bentuk kriminalisasi terhadap kerja jurnalis. Juga kasus yang menimpa Risky Pogaga, wartawan Media Sulut menderita patah tulang hidung dan babak belur sekujur badannya. Serta Hendra dari Koran Manado dan Bryan wartawan media online Manado Today yang dianiaya. Masih banyak lagi kasus yang lainnya yang menyiratkan betapa kebebasan pers itu patut dipertanyakan.
Sebagai catatan akhir, kebebasan pers kembali diuji dengan adanya Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2013 mengenai Pelaksaan Kampanye Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Salah satu isi pasalnya ialah media massa harus memberikan halaman serta waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita, wawancara, dan pemasangan iklan kampanye bagi setiap peserta pemilu. Juga kontroversi RUU KUHP yang dibuat DPR berkaitan dengan pasal Haatzai Artikelen dan penghinaan terhadap kepala negara serta ketentuan UU N0. 11 tahun 2012 tentang Sistim peradilan pidana anak pada pasal 19 dengan ketentuan pidana pada pasal 97 ancaman hukuman pidana 5 tahun penjara dan denda paling banyak lima ratus juta rupiah. Ini semacam warning bagi pekerja pers, wartawan atau jurnalis televisi yang memuat foto atau gambar anak yang dipidana, anak  yang menjadi saksi atau korban.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved