Polemik Proyek Whoosh
Soal Wacana Kereta Cepat Jakarta-Surabaya, Pengamat: Jawa Itu Tidak Butuh karena Sudah Terkoneksi
Wacana perpanjangan rute Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) atau Whoosh dari Jakarta–Bandung hingga Surabaya menuai kritik
Ringkasan Berita:
- Polemik proyek kereta cepat Whoosh terus jadi sorotan dikarenakan nominal fantastis
- Wacana kereta cepat Jakarta-Surabaya pun menjadi perhatian pengamat
- Pengamat menyebut Jawa sudah tidak membutuhkan kereta cepat Jakarta-Surabaya
TRIBUNMANADO.CO.ID – Soal proyek kereta cepat Whoosh akhir-akhir ini terus menjadi perhatian.
Dikarenakan proyek Whoosh disebut meninggalkan utang fantastis yakni mencapai Rp 116 triliun.
Terkait hal tersebut pembangunan kereta cepat menjadi sorotan pengamat transportasi.
Wacana perpanjangan rute Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) atau Whoosh dari Jakarta–Bandung hingga Surabaya menuai kritik dari berbagai pihak.
Pasalnya, proyek KCIC Jakarta–Bandung sendiri masih meninggalkan utang besar mencapai Rp 116 triliun tanpa kepastian penyelesaian.
Pengamat transportasi dari Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno, menilai pembangunan kereta cepat di Pulau Jawa tidak mendesak karena wilayah ini sudah memiliki jaringan transportasi darat dan udara yang memadai.
“Bagaimana kalau sampai Surabaya? Nah, ini jadi persoalan. Jawa itu enggak butuh kereta cepat karena sudah terkoneksi. Jalan tol ada, bandara sudah terbangun,” ujar Djoko melalui sambungan telepon, Selasa (28/10/2025).
Menurutnya, proyek tersebut justru berpotensi mengancam keberlangsungan moda transportasi lain yang sudah berjalan.
“Kalau Whoosh dibangun sampai di Surabaya, ada yang dimatikan. Pesawat mati, padahal bandaranya sudah investasi dan sudah terbangun,” tegasnya.
Tingkatkan Kereta Konvensional
Daripada memperpanjang jalur kereta cepat, Djoko menyarankan agar pemerintah fokus meningkatkan layanan kereta konvensional milik PT Kereta Api Indonesia (KAI).
“Sudahlah, kereta yang ada sekarang ditingkatkan lagi kecepatannya dengan perbaikan geometrik. Nah, kemarin ini dari kecepatan 90 km/jam jadi 120 km/jam, ke 160 masih bisa,” jelasnya.
Ia mencontohkan praktik di China, di mana pembangunan kereta cepat dibarengi dengan optimalisasi jalur konvensional untuk angkutan logistik.
“Di China, kereta cepat dibangun tapi kereta konvensional dialihkan untuk angkutan barang. Jadi tidak ada yang mubazir,” imbuhnya.
Soroti Subsidi dan Ketimpangan Wilayah
Djoko juga menyoroti bahwa tarif kereta cepat saat ini masih disubsidi karena belum sebanding dengan daya beli masyarakat.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.