TRIBUNMANADO.CO.ID – Di tengah gegap gempita perayaan Hari Ulang Tahun ke-402 Kota Manado, Sulawesi Utara (Sulut), ada dua tangis yang tak terdengar dalam keramaian.
Bukan tawa atau sukacita, melainkan air mata dua anak Kota Manado yang tercecer dari sistem pendidikan di tanah kelahirannya sendiri.
Senin 14 Juli 2025 pagi, udara dingin usai Subuh menyelimuti rumah sederhana di sudut kota.
MRJF alias Ikra dan RPM alias Raisa, dua anak kurang mampu penerima PIP dan anak penerima PKH mengenakan seragam putih biru, berdiri terpaku di depan pintu rumah.
Tas sudah digendong. Sepatu sudah dipakai. Tapi mereka tak tahu akan melangkah ke sekolah mana.
Hari itu adalah hari pertama masuk sekolah untuk tahun ajaran baru 2025.
Tapi bagi Ikra dan Raisa, itu adalah hari pertama mereka merasa tak diinginkan oleh sistem.
Ikra sebelumnya sudah mendaftar di SMP Negeri 1 Manado, sekolah favorit yang menjadi harapan banyak anak di kota ini.
Namun namanya ditolak oleh sistem.
Ibunya berusaha mencarikan alternatif sekolah lain, namun semuanya juga menutup pintu.
Alasannya? Nama Ikra masih terdaftar di sekolah lain, sekolah yang justru tak meloloskannya.
Alasan sekolah lain menolak Ikra karena kuota di sekolah mereka sudah penuh.
"Mama kong Ikra mo sekolah di mana dang?" tanya Ikra lirih, matanya berkaca-kaca melihat teman-temannya berangkat dengan riang ke sekolah masing-masing.
Berbeda kisah, namun sama luka, Raisa pun menghadapi ketidakjelasan.
Ia mendaftar di SMPN 1 Manado lewat jalur afirmasi, jalur khusus untuk anak-anak dari keluarga kurang mampu, seperti dirinya.