Dengan keberanian dan kepintaran yang dimiliki Monginsidi, beliau dipercaya untuk memimpin pertempuran melawan Belanda dan menjadi sosok yang disegani.
Pada17 Juli 1946, Mongisidi dengan Ranggong Daeng Romo dan lainnya membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS dengan Wolter Monginsidi sebagai ketuanya.
Pasukan LAPRIS kerap mempermalukan Belanda.
Dia ditangkap oleh Belanda pada 28 Februari 1947, tetapi berhasil kabur pada 27 Oktober 1947.
Belanda menangkapnya kembali dan kali ini Belanda menjatuhkan hukuman mati kepadanya.
Setia hingga Akhir dalam Keyakinan
Tanggal 5 September 1949, di Pacinang, Kota Makassar, Wolter Mongisidi menjalani hukuman mati yang dijatuhkan pengadilan kolonial Belanda.
Saat akan dieksekusi, Wolter Mongisidi meminta untuk tidak dipakaikan penutup mata. Ia ingin melihat peluru musuh menembus tubuhnya.
Dengan mantap, Wolter Mongisidi maju ke tempat pelaksanaan eksekusi. Tangan kirinya menggenggam Alkitab.
Tatapan matanya tajam, tiada ketakutan yang terpancar di sana. Nyali seorang Bantik benar-benar mendarah daging dalam dirinya.
Setelah tiga kali pekik merdeka, delapan peluru menyusul menembus raganya.
Sang Tuama Bantik rebah. Ia gugur pada usia 24 tahun.
Ditemukan sebuah kalimat dalam secarik kertas yang terselip pada Alkitab yang dibawanya.
Kalimat yang kelak menjadi salah satu slogan prajurit TNI, yakni "Setia hingga Akhir di Dalam Keyakinan"
Setelah Belanda hengkang, jasadnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Panaikang Makassar pada 10 November 1950.
Pada 6 November, 1973 Robert Wolter Mongisidi mendapatkan anugerah gelar Pahlawan Nasional Pemerintah Indonesia.