Arti Kata

Arti Deponir, Status Bambang Widjojanto yang Dibongkar Eddy Hiariej di Sidang Sengketa Pilpres 2024

Editor: Glendi Manengal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Bambang Widjojanto

TRIBUNMANADO.CO.ID - Sebelumnya sidang sengketa Pilpres 2024 di MK menjadi perhatian.

Diketahui ada beberapa hal yang menjadi perhatian pada sidang tersebut.

Salah satunya pengakuan dari saksi ahli dari tim Prabowo-Gibran.

Dimana terungkap status dari Bambang Widjojanto.

Seperti yang diketahui Bambang Widjojanto merupakan tim kuasa hukum dari Anies-Muhaimin.

Lantas hal tersebut menjadi sorotan dimana saksi ahli tim Prabowo-Gibran yakni Eddy Hiariej.

Membongkar soal Bambang Widjojanto yang berstatus Deponir.

Terkait hal tersebut apa sebenarnya Deponir itu?

Berikut ini penjelasannya.

Diketahui pada Kamis, 3 Maret 2016 beberapa tahun lalu, hukum di Indonesia menyuguhkan keputusan deponir.

Adalah Jaksa Agung Muhammad Prasetyo yang menyatakan bahwa perkara dua mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, dideponir, dan dengan itu dinyatakan berakhir dan ditutup.

Dasar pertimbangan Prasetyo adalah karena dua orang tersebut merupakan ikon antikorupsi yang telah banyak berjasa dalam membongkar kasus-kasus korupsi di Indonesia.

Selain itu, Kejaksaan Agung khawatir kasus yang menjerat keduanya akan kontraproduktif dengan upaya pemberantasan korupsi yang sedang berkobar-kobar saat ini.

Keputusan yang kemudian dianggap "mirip" dengan kasus pimpinan KPK terdahulu, Bibit Samad dan Chandra Hamzah, yang saat itu disangkakan memeras tersangka Anggoro Widjojo, yang kemudian dideponir oleh Jaksa Agung saat itu, Basrief Arief.

Lalu apa arti kata "deponir"? Tentu saja tak banyak orang yang tahu. Akan tetapi, sebagaimana yang telah menjadi kebiasaan, sekali mencoba, media massa seakan ketagihan menggunakannya. Perkara pembaca mengerti atau tidak, membuka kamus atau tidak, mencari tahu atau tidak, tak menjadi urusan.

"Deponir" adalah kata yang berasal dari bahasa Belanda deponeren (verba), yang berarti menyerahkan, mendaftarkan, melaporkan (merek dagang, nama usaha, dan sebagainya).

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), deponir (juga verba) berarti menaruh untuk disimpan (uang dalam bank); menyimpan untuk tidak digarap (perkara dan sebagainya).

Ada juga kata deponering, yang oleh media massa kadang-kadang dipakai untuk menggantikan kata "deponir" dan ditulis dengan huruf kursif. Deponering sendiri masih bahasa Bahasa Belanda, yang merupakan nomina dari "deponeren".

Tetapi perlu diketahui, sampai hari ini, penggunaan kata "deponering" atau "deponeren" (dan tentu saja "deponir" yang merupakan hasil serapan dalam bahasa Indonesia), untuk merujuk pada tindakan pengesampingan perkara pidana, masih belum tuntas diperdebatkan.

"Deponering" maupun "deponeren" dianggap bukanlah kata yang tepat. Menurut bahasa Belanda, kata yang tepat adalah "seponering" (nomina) atau "seponeren" (verba) ataupun "sepot" (verba), yang artinya mengenyampingkan, meniadakan, menyisihkan perkara hukum.

Distorsi yang terjadi antara pemilihan kata "seponering"/"seponeren" dengan "deponering"/"deponeren" ini sebenarnya telah dibahas sejak lama oleh para pelaku hukum. Akan tetapi, saya tak tahu sampai di mana perkembangannya. Entah para pelaku hukum itu telah lupa, atau terlalu sibuk, atau malas berlama-lama berdebat soal bahasa.

Yang pasti, hingga Jaksa Agung Prasetyo mengumumkan keputusan mengejutkan terhadap kasus Abraham Samad dan Bambang Widjojanto itu, kata "deponir" masih tetap digunakan, yang berarti masih menyerap dari "deponering" atau "deponeren".

Lalu, akankah "deponir" berubah menjadi "seponir"? Kita tunggu saja sejauh mana penyusun KBBI mengikuti perkembangannya.

Eddy Hiariej singgung Status Bambang Widjojanto

Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej (Eddy Hiariej) menyerang balik anggota tim hukum Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Bambang Widjojanto (BW) yang mempermasalahkan keberadaannya dalam sidang sengketa Pilpres di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (4/4/2024).

Eddy yang merupakan Guru Besar Hukum Pidana UGM, dihadirkan sebagai ahli dari kubu paslon nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam sidang tersebut.

Mulanya, Eddy meminta majelis hakim diberikan waktu untuk menjelaskan perbedaannya dengan BW saat ditetapkan menjadi tersangka, sebelum BW keluar dari ruang sidang.

BW diketahui memutuskan walkout saat Eddy akan memulai pemaparan karena sebelumnya sudah memprotes keberadaan Eddy dalam sidang.

"Majelis yang terhormat, saya kira sebelum Pak BW meninggalkan tempat...," kata Eddy dalam sidang, Kamis siang.

"Sudah enggak apa-apa, Pak Eddy, itu kan haknya beliau juga," kata Ketua MK Suhartoyo memotong ucapan Eddy.

"Ya saya kira berhak untuk tidak terjadi character assasination, karena begitu dikatakan saudara Bambang hari ini pemberitaan dengan seketika mempersoalkan keberadaan saya," ungkap Eddy.

Kemudian, Eddy menjelaskan status tersangkanya.

Ia menjelaskan, Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri menyebut akan menerbitkan sprindik umum dengan melihat perkembangan kasus.

Status tersangkanya pun sudah dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

"Status saya sebagai tersangka, sudah saya challenge di PN Jakarta Selatan dan putusan tanggal 30 membatalkan status saya sebagai tersangka," tutur Eddy.

Oleh karenanya, ia mengaku berbeda dengan BW yang tidak mengajukan praperadilan saat ditetapkan sebagai tersangka.

"Jadi saya berbeda dengan saudara BW yang ketika ditetapkan sebagai tersangka, dia tidak men-challenge tapi mengharapkan belas kasihannya Jaksa Agung untuk memberikan deponir (penghentian penuntutan pidana oleh Jaksa Agung)," jelas Eddy.

Sebelumnya diberitakan, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej.

Putusan ini dibacakan oleh Hakim Tunggal, Estiono di Ruang Sidang Utama PN Jaksel, Jakarta, Selasa (30/1/2024).

Gugatan diajukan lantaran Eddy tidak terima ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hakim juga menilai penetapan tersangka terhadap pemohon tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

"Dalam pokok perkara menyatakan penetapan tersangka oleh termohon (KPK) sebagaimana dimaksud Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 UU 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 auat 1 KUHP terhadap pemohon tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Estiono di ruang sidang.

(Sumber Kompas/TribunMedan)

Berita Terkini