TRIBUNMANADO.CO.ID, Jakarta - Hasil Pemilu 2024 bukan segalanya, paling penting proses demokrasi berlangsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Demikian diungkapkan Pengajar Hukum Pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengungkapkan bahwa hasil Pemilu 2024 bukan segalanya.
"Angka bisa dihasilkan dari proses yang manipulatif. Jadi kalau kita hanya terjebak bahwa angka adalah segalanya," kata Titi saat diskusi bertajuk Kecurangan Pemilu dari Prespektif Konstitusi dan Hukum Administrasi Negara di Rumah Belajar ICW, Jakarta Selatan, Kamis (22/2/2024).
"Kita tidak akan pernah mendapatkan proses pemilu yang dikehendaki konstitusi. Yaitu proses pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil," jelasnya.
Titi melanjutkan seolah-olah ada yang terlupa di dalam praktik pemilu di Indonesia. Bahwa masyarakat hanya ingat pemilunya 5 tahun sekali.
"Padahal konstitusi itu menghendaki satu paket. Pemilu yang murni dan berkala. Murninya ialah ia harus luber dan jurdil. Berkalanya setiap 5 tahun sekali," tegasnya.
Menurutnya hal itu agar berlangsungnya pemilihan umum bukan hanya ritual lima tahunan semata.
"Supaya kita tidak sekedar pemilu sebagai ritual. Tetapi pemilu sebagai instrumen demokrasi yang sesungguhnya," tegasnya.
Keterangan foto: Pengajar hukum pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini di Jakarta Selatan.
Bawaslu Minta KPU Laksanakan 1.496 PSU
Anggraini juga menilai KPU harus melaksanakan 1.496 pemungutan suara ulang sesuai rekomendasi Bawaslu.
Sebagai informasi Bawaslu telah mengeluarkan sebanyak 1.496 rekomendasi pemungutan suara ulang (PSU) yang terdiri dari 780 (PSU), 132 pemungutan suara lanjutan (PSL), dan 584 Pemungutan Suara Susulan (PSS).
Mulanya Titi menyebutkan bahwa sebelum melakukan pelaksanaan pemungutan suara ulang. Pastikan pemilih mendapatkan akses secara layak.
"Yang harus dipastikan adalah pemilih bisa menggunakan hak pilihnya secara layak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan tidak mendapatkan perlakuan diskriminasi," kata Titi di kantor ICW, Jakarta Selatan, Kamis (22/2/2024).
Misalnya kata Titi saat memberitahu waktu pemungutan suara terlambat. Kemudian tidak mendapatkan pelayanan yang baik, terhadap akses pada kertas suara.
"Jadi perintah pungutan surat suara ulang harus ditindaklanjuti KPU. Sesuai dengan aturan yang ada dengan tata cara prosedur dan mekanisme pelaksanaan yang baik dan tidak merugikan hak pilih warga negara," tegasnya.
Kemudian Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ini juga mengingatkan agar euforia PSU tetap baik.
"Jadi konsekuensi logis dari PSU biasanya euforia minat masyarakat menurun dan mereka biasanya sudah apatis, karena menganggap hasil sudah ada," kata Titi.
Oleh karena itu, kata Titi harus ada upaya dari Bawaslu dan KPU meyakinkan bahwa penggunaan hak pilih. Adalah bagian dari pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk mewujudkan pemilu yang jurdil.
"Jadi bukan hanya sekedar melakukan pemungutan suara ulang tapi juga sosialisasinya juga harus bagus dan dipastikan tidak ada manipulasi," tegasnya.
Sebagai informasi Bawaslu telah mengeluarkan sebanyak 1.496 rekomendasi pemungutan suara ulang (PSU) yang terdiri dari 780 (PSU), 132 pemungutan suara lanjutan (PSL), dan 584 Pemungutan Suara Susulan (PSS).
Adapun alasan kenapa pemungutan suara harus dilakukan ulang adalah karena diakomodirnya pemilih yang tidak memiliki KTP-el atau surat keterangan, dan tidak terdaftar.
di daftar pemilih tetap (DPT) dan dan daftar pemilih dan daftar pemilih tambahan (DPTb) sehingga dapat memberikan suara di TPS.
Kemudian juga terdapat pemilih yang memiliki KTP-el yang tempat mencoblosnya tidak sesuai domisili dan tidak mengurus pindah memilih.
Selain itu terdapat pemilih DPTb yang mendapatkan surat suara tidak sesuai haknya yang tertera dalam form pindah memilih serta terdapat pemilih yang memberikan suara lebih dari satu kali. (Tribunnews.com Rahmat W Nugraha)