“Saat laki-laki Tondano hanya berpangku tangan, Kiai Modjo dan anak buahnya membantu perempuan Minahasa membangun gereja. Dari situlah terbentuk hubungan erat antara mereka,” katanya.
Setelah dari situ, terjadilah proses kawin-mawin antara Kiai Modjo dan pengikutnya dengan para perempuan Minahasa.
Saat itu, perempuan Minahasa yang belum menjadi Kristen sudah dipinang Kiai Modjo dan pengikutnya, sehingga memeluk agama Islam.
Proses peminangan Kiai Modjo dan pengikutnya pada para perempuan Tondano berlangsung lama, ada ketentuan-ketentuan yang harus diikuti.
“Salah satunya warisan, perempuan yang sudah menikah dengan para pengikut Kiai Modjo tak lagi mendapat warisan,” katanya.
Profesor Ishak Pulukadang, budayawan dan tokoh masyarakat Kampung Jawa Tondano mengatakan untuk meminang warga lokal saat itu maharnya mahal.
Kiai Modjo dan pengikutnya diizinkan untuk meminang perempuan lokal, dengan catatan mereka berjanji tidak akan lagi melakukan perbuatan seperti di Jawa, yakni berontak kepada pemerintah kolonial.
Selain itu mereka juga harus melapor pada pemerintah Belanda.
Pernikahan pada waktu itu pun berlangsung meriah dan berlangsung tujuh hari tujuh malam.
Pernikahan tersebut kental dengan budaya Jawa dan Minahasa.
Pengantin pria dengan salawatan sedangkan pengantin wanita dengan tarian maengket.
“Terjadi perpaduan seni dan budaya saat itu,” kata Pulukadang.
Penginjil Riedel dan Kiai Modjo saat itu juga pernah bertemu.
“Riedel, Kiai Modjo, para Walak (pemimpin) pernah duduk bersama saat itu, dalam suasana kekerabatan,” kata Fendy Parengkuan.
Kerukunan antara rombongan Kiai Modjo dan warga Minahasa memang sudah ada sejak awal, dan itu pun diperkuat dengan kawin-mawin kedua belah pihak.
Baca berita lainnya di: Google News.
Berita terbaru Tribun Manado: klik di sini