Pasukan Sekutu mulai mendirikan pertahanan di tempat-tempat penting, seperti lapangan terbang, kantor radio, gedung internatio, dan pusat kereta api.
Tidak hanya itu, mereka juga menyebarkan selebaran yang berisi imbauan agar masyarakat Surabaya segera menyerahkan senjata.
Akan tetapi, rakyat Surabaya menolak menyerah kepada Sekutu.
Kondisi ini semakin mendorong rakyat Surabaya untuk melakukan perlawanan terhadap Sekutu.
Pada 28 Oktober 1945, pasukan Indonesia yang dipimpin oleh Bung Tomo mulai menyerang pos-pos pertahanan milik Sekutu.
Tiga hari kemudian, 31 Oktober 1945, Brigadir Mallaby tewas di tangan para pejuang Indonesia.
Kejadian ini sontak menyulut kemarahan Sekutu dan mereka memberi ultimatum agar rakyat Surabaya segera menyerah.
Sekutu mengancam, rakyat Surabaya akan dihancurkan jika tidak menyerah.
Namun, masyarakat Surabaya tidak gentar dan tetap melakukan perlawanan.
Puncak pertempuran Surabaya terjadi pada 10 November 1945, ketika pasukan Sekutu menyerang Kota Surabaya.
Dalam melawan Sekutu, para pejuang Indonesia menggunakan beberapa senjata, salah satunya senjata tradisional bambu runcing.
Setelah tiga pekan, pertempuran Surabaya mulai mereda pada 28 November 1945.
Pertempuran ini lebih banyak memakan korban jiwa dari pihak Indonesia yang mencapai 20.000 orang.
Sementara itu, korban jiwa di pihak Sekutu sebanyak 1.500 orang.