“Apalagi ini perkara korupsi, kadangkala tendensi para hakim yang kelihatannya kalau korupsi itu harus dihukum, padahal semata-mata tidak demikian. Kalau mau menghukum kan harus mempertimbangkan unsur dari pasal itu, dibuktikan secara secara keseluruhan,” ucapnya.
“Misalnya apakah dia merugikan keuangan negara, baik yang dilakukan oleh diri sendiri, orang lain atau korporasi harus dibuktikan berapa besarnya,” ucapnya lagi.
Sulengkampung juga mengomentari uang pengganti terhadap terdakwa.
Kata dia, justru karena itu sangat menyakitkan, dari awal karena berubahnya tentang pidana korupsi, khususnya pasal 2 dan pasal 3 yang dahulu merupakan delik formil sekarang menjadi delik materil.
Dia menjelaskan, delik materil harus ada kerugian keuangan negara dan ditentukan siapa yang melakukan itu dan siapa yang hartanya bertambah. Orang bisa dibebaskan kalau negara tidak dirugikan, memperkaya diri sendiri dan tidak diuntungkan, kepentingan masyarakat terlayani.
“Nah di dalam perkara ini kan kelihatannya jadi 9.000 (sembilan ribu) sambungan atau beberapa puluh ribu, penambahan untuk keuangan ini, berkembang banyak sekali, berarti kepentingan masyarakat terlayani. Jangan mengabai hal-hal seperti itu, “ tandas Sulengkampung. (vid)