G30S PKI

Kisah Jenderal AH Nasution saat Peristiwa G30S PKI, Diselamatkan Istri dan Ajudan Lettu Tendean

Editor: Frandi Piring
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kisah Jenderal AH Nasution saat Peristiwa G30S PKI, Diselamatkan Istri dan Ajudan Lettu Tendean

Ade Irma dibawa ke RSPAD untuk diberikan pertolongan.

Gadis kecil itu harus menjalani operasi beberapa kali.

Hendrianti yang tak kuasa melihat adiknya yang bersimbah darah hanya bisa menangis.

"Adik saya bilang, 'Kakak jangan nangis, adik sehat'," katanya.

Selain menenangkan Hendrianti, Ade Irma juga bertanya kepada sang ibu.

"Adik tanya ke ibu saya, 'Kenapa ayah mau dibunuh mama?"

Kalimat tersebut diucapkan sebelum Ade Irma Suryani meninggal dunia.

Ia menghembuskan napas terakhirnya setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit.

"Tanggal 6 Oktober adik saya dipanggil Allah. Saya sebagai manusia sudah memaafkan mereka tapi peritiwa ini tidak boleh dilupakan," ucapnya.

Tragedi dini hari pada 1 Oktober 1965 mengakhiri hidup Pierre Tendean pada peristiwa G30S/PKI.

Tidak hanya mengawal Jenderal AH Nasution, Lettu Pierre Tendean pun akrab dengan Ade Irma Suryani.

Potret berdua mereka bahkan terpajang di Museum AH Nasution.

Namun, segala kecemerlangan dalam bidang militer dan masa depan cerah Lettu Pierre Tendean harus berakhir.

Saat itu (30/9/1965) Lettu Pierre Tendean biasanya pulang ke Semarang merayakan ulang tahun sang ibu.

Namun, ia menunda kepulangannya karena tugasnya sebagai pengawal Jenderal AH Nasution.

Ia tengah beristirahat di ruang tamu, di rumah Jenderal AH Nasution, Jalan Teuku Umar Nomor 40, Jakarta Pusat.

Namun, waktu istirahatnya terganggu karena ada keributan.

Lettu Pierre Tendean pun langsung bergegas mencari sumber keributan itu.

Ternyata keributan itu berasal dari segerombol orang.

Disebutkan bawah orang-orang yang datang ke rumah AH Nasution adalah pasukan Cakrabirawa.

Mereka pun menodongkan senjata pada Lettu Pierre Tendean.

Lettu Pierre Tendean tak bisa berkutik. Ia dikepung pasukan itu.

Diorama penculikan Pierre Tendean di museum Dr. A. H. Nasution, Jakarta Pusat, Selasa (26/9/2017) (KOMPAS.COM/Wienda Putri Novianty)

Demi melindungi atasan, Lettu Pierre Tendean pun menyebut dirinya sebagai Jenderal AH Nasution.

"Saya Jenderal AH Nasution," ujarnya.

Akhirnya, ia yang dikira Jenderal AH Nasution langsung diculik.

Sementara itu, nyawa putri Jenderal AH Nasution, Ade Irma, tak tertolong karena tertembak.

Pada akhirnya, Lettu Pierre Tendean harus gugur di tangan orang-orang yang menyerangnya.

Meski Pierre Tendean tak lagi bernyawa, kakinya diikat lalu dimasukkan ke dalam sumur, di Lubang Buaya.

Pada usianya yang masih muda, Lettu Pierre Tendean tinggal menjadi kenangan dalam peristiwa mengerikan itu.

Kematiannya memberikan luka mendalam terhadap keluarganya.

Padahal, pada November 1965, Lettu Pierre Tendean dijadwalkan akan menikahi Rukmini Chaimin di Medan.

Takdir berkata lain. Ia meninggal mengatasnamakan atasannya di depan para pembunuh itu.

Sebagai bentuk penghormatan, ia pun dinaikkan pangkatnya menjadi kapten.

Kapten Tendean pun ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia pada 5 Oktober 1965.

Profil AH Nasution

Dilansir dari wikipedia, Jenderal Besar TNI (Purn.) Abdul Haris Nasution adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang merupakan salah satu tokoh TNI AD yang menjadi sasaran dalam peristiwa Gerakan 30 September.

Kehidupan awal

Nasution dilahirkan di Desa Hutapungkut, Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara, dari keluarga Batak Muslim.

Ia adalah anak kedua dan juga merupakan putra tertua dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang pedagang yang menjual tekstil, karet dan kopi, dan merupakan anggota dari organisasi Sarekat Islam.

Ayahnya, yang sangat religius, ingin anaknya untuk belajar di sekolah agama, sementara ibunya ingin dia belajar kedokteran di Batavia.

Namun, setelah lulus dari sekolah pada tahun 1932, Nasution menerima beasiswa untuk belajar mengajar di Bukit Tinggi.

Pada tahun 1935 Nasution pindah ke Bandung untuk melanjutkan studi, di sana ia tinggal selama tiga tahun.

Keinginannya untuk menjadi guru secara bertahap memudar saat minatnya dalam politik tumbuh.

Dia diam-diam membeli buku yang ditulis oleh Soekarno dan membacanya dengan teman-temannya. Setelah lulus pada tahun 1937, Nasution kembali ke Sumatra dan mengajar di Bengkulu, ia tinggal di dekat rumah pengasingan Soekarno.

Dia kadang-kadang berbicara dengan Soekarno, dan mendengarnya berpidato.

Setahun kemudian Nasution pindah ke Tanjung Raja, dekat Palembang, di mana ia melanjutkan mengajar, tetapi ia menjadi lebih dan lebih tertarik pada politik dan militer.

Pada tahun 1940, Jerman Nazi menduduki Belanda dan pemerintah kolonial Belanda membentuk korps perwira cadangan yang menerima orang Indonesia.

Nasution kemudian bergabung, karena ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan pelatihan militer.

Seiring dengan beberapa orang Indonesia lainnya, ia dikirim ke Akademi Militer Bandung untuk pelatihan.

Pada bulan September 1940 ia dipromosikan menjadi kopral, tiga bulan kemudian menjadi sersan. Dia kemudian menjadi seorang perwira di Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL).

Pada tahun 1942 Jepang menyerbu dan menduduki Indonesia.

Pada saat itu, Nasution di Surabaya, ia ditempatkan di sana untuk mempertahankan pelabuhan.

Nasution kemudian menemukan jalan kembali ke Bandung dan bersembunyi, karena ia takut ditangkap oleh Jepang.

Namun, ia kemudian membantu milisi PETA yang dibentuk oleh penjajah Jepang dengan membawa pesan, tetapi tidak benar-benar menjadi anggota.

Keluarga dan akhir hayat

Nasution menikah dengan Johanna Sunarti, bersamanya ia memiliki dua anak perempuan, salah satunya adalah Ade Irma Suryani Nasution yang tewas dalam peristiwa G30S/PKI.

Istrinya meninggal pada tahun 2010 dalam usia 87.

Nasution sendiri meninggal pada 6 September 2000 di Jakarta setelah menderita stroke dan kemudian koma.

Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.

Revolusi Nasional Indonesia RNI

Setelah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Nasution bergabung dengan militer Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Pada bulan Mei 1946, ia diangkat menjadi Panglima Regional Divisi Siliwangi, yang memelihara keamanan Jawa Barat.

Dalam posisi ini, Nasution mengembangkan teori perang teritorial yang akan menjadi doktrin pertahanan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada masa depan.

Pada bulan Januari 1948, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda menandatangani Perjanjian Renville, membagi Jawa antara daerah yang dikuasai Belanda dan Indonesia.

Karena wilayah yang diduduki oleh Belanda termasuk Jawa Barat, Nasution dipaksa untuk memimpin Divisi Siliwangi menyeberang ke Jawa Tengah.

Wakil Panglima

Pada 1948 Nasution naik ke posisi Wakil Panglima TKR. Meskipun hanya berpangkat Kolonel, penunjukan ini membuat Nasution menjadi orang paling kuat kedua di TKR, setelah Jenderal Soedirman.

Nasution segera pergi untuk bekerja dalam peran barunya. Pada bulan April, ia membantu Soedirman mereorganisasi struktur pasukan.

Pada bulan Juni, pada sebuah pertemuan, saran Nasution bahwa TKR harus melakukan perang gerilya melawan Belanda disetujui.

Pada 30 September, Madiun diambil alih oleh pasukan republik dari Divisi Siliwangi.

Ribuan anggota partai komunis tewas dan 36.000 lainnya dipenjara.

Di antara yang terbunuh adalah Musso pada 31 Oktober, diduga ia terbunuh ketika mencoba melarikan diri dari penjara.

Pemimpin PKI lainnya seperti DN Aidit pergi ke pengasingan di Cina.

Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan serangan sukses di Yogyakarta dan kemudian mendudukinya.

Nasution, bersama-sama dengan TKR dan para komandan lainnya, mundur ke pedesaan untuk melawan dengan taktik perang gerilya.

Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditawan Belanda, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) didirikan di Sumatra.

Dalam pemerintahan sementara ini, Nasution diberikan posisi Komandan Angkatan Darat dan Teritorial Jawa.

Setelah pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia, PDRI mngembalikan kekuasaan kepada Soekarno dan Hatta, dan Nasution kembali ke posisinya sebagai Wakil Panglima Soedirman.

Era Demokrasi Parlementer

Pada tahun 1950, Nasution mengambil posisinya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, dengan T.B. Simatupang menggantikan Soedirman yang telah meninggal dunia sebagai Kepala Staf Angkatan Perang.

Pada tahun 1952, Nasution dan Simatupang memutuskan untuk mengadopsi kebijakan restrukturisasi dan reorganisasi untuk ABRI.

Dalam pengaturan ini, Nasution dan Simatupang berharap untuk menciptakan tentara yang lebih kecil tetapi yang lebih modern dan profesional.

Nasution dan Simatupang, yang keduanya telah dilatih oleh pemerintah kolonial Belanda ingin melepaskan para prajurit yang dilatih oleh Jepang dan mengintegrasikan lebih banyak tentara yang dilatih oleh Belanda.

Namun hal ini ditentang oleh Bambang Supeno yang merupakan pimpinan prajurit yang dilatih oleh Jepang.

Peristiwa 17 Oktober

Pada 17 Oktober 1952, Nasution dan Simatupang memobilisasi pasukan mereka dalam unjuk kekuatan.

Memprotes campur tangan sipil dalam urusan militer, pasukan Nasution dan Simatupang mengelilingi Istana Kepresidenan dan mengarahkan moncong meriam ke Istana.

Permintaan mereka ke Soekarno adalah mengajukan tuntutan pembubaran DPR. Untuk alasan ini, Nasution dan Simatupang juga memobilisasi demonstran sipil.

Soekarno keluar dari Istana Kepresidenan dan meyakinkan baik tentara dan warga sipil untuk pulang. Nasution dan Simatupang telah dikalahkan.

Nasution dan Simatupang kemudian diperiksa oleh Jaksa Agung Suprapto.

Pada bulan Desember 1952, mereka berdua kehilangan posisi mereka di ABRI dan diberhentikan dari ikatan dinas.

Pokok-Pokok Gerilya

Ketika ia bukan lagi sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, Nasution menulis sebuah buku berjudul Pokok-Pokok Gerilya.

Buku ini ditulis berdasarkan pengalaman Nasution sendiri yang berjuang dan mengorganisir perang gerilya selama Perang Kemerdekaan Indonesia.

Awalnya buku ini dirilis pada tahun 1953, dan menjadi salah satu buku yang paling banyak dipelajari pada perang gerilya bersama dengan karya-karya Mao Zedong pada subjek yang sama.

Periode kedua sebagai KSAD

Pada 7 November 1955, setelah tiga tahun pengasingan, Nasution diangkat kembali ke posisi lamanya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.

Dia segera mulai bekerja pada angkatan darat dan strukturnya dengan mengadopsi pendekatan tiga kali lipat.

Pemberontakan PRRI

Pada akhir 1956, ada tuntutan dari panglima daerah di Sumatra untuk otonomi yang lebih di provinsi-provinsi mereka.

Ketika tuntutan ini tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat, pasukan mulai memberontak, dan pada awal 1957, telah tegas mengambil alih pemerintahan di Sumatra.

Kemudian, pada tanggal 15 Februari 1958, Letkol Ahmad Husein menyatakan pembentukan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Hal ini mendorong pemerintah pusat untuk menggelar pasukan.

Sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, Nasution biasanya telah terlibat dalam memobilisasi pasukan ke Sumatra. Namun, kali ini Kolonel Ahmad Yani yang ditugaskan memimpin pasukan kesana dan berhasil menumpas pemberontakan.

Kembali ke UUD 1945

Pada 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan dekret yang menyatakan bahwa Indonesia sekarang akan kembali ke UUD 1945 yang asli.

Sistem demokrasi parlementer akan berakhir dan Soekarno sekarang adalah Kepala Pemerintahan dan sekaligus Kepala Negara.

Nasution diangkat menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan di Kabinet Soekarno, sambil terus memegang posisi sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.

Era Demokrasi Terpimpin

Sejak 1956, Nasution telah berusaha untuk membasmi korupsi di Angkatan Darat, tetapi kembali berlakunya UUD 1945 tampaknya telah memperbaharui tekadnya dalam hal ini.

Dia percaya bahwa tentara harus memberi contoh untuk seluruh masyarakat.

Tidak lama setelah keputusan Soekarno, Nasution mengirim Brigadir Jenderal Sungkono untuk menyelidiki transaksi keuangan dari Kodam IV/Diponegoro dan panglimanya, Kolonel Soeharto.

Irian Barat

Selama perjuangan kemerdekaan, Soekarno selalu menganggap Irian Barat juga termasuk sebagai Indonesia. Ketika Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia, Irian Barat terus menjadi koloni Belanda.

Soekarno tidak menyerah dan terus mendorong Irian Barat harus dimasukkan sebagai bagian dari Indonesia melalui PBB dan melalui Konferensi Asia–Afrika, di mana negara-negara yang hadir berjanji untuk mendukung klaim Indonesia. Belanda tetap terus bersikeras.

Pada tahun 1960, Soekarno sudah kehabisan kesabaran. Pada bulan Juli, ia bertemu dengan penasihat utamanya, termasuk Nasution, dan disepakati bahwa Indonesia akan mengejar kebijakan konfrontasi melawan Belanda pada masalah Irian Barat.

Rivalitas dengan PKI

Pada saat ini, Soekarno mulai melihat PKI sebagai sekutu politik utamanya, bukan tentara lagi.

Meskipun ia telah menetapkan Indonesia nonblok selama Perang Dingin, pernyataan bahwa PRRI diberi bantuan oleh Amerika Serikat, menyebabkan Soekarno mengadopsi sikap anti-Amerika.

Dalam hal ini, ia memiliki PKI sebagai sekutu alami. Bagi PKI, bersekutu dengan Soekarno hanya akan menambah momentum politik sebagai pengaruh mereka terus tumbuh dalam politik Indonesia.

Perbedaan dengan Yani

Nasution segera mulai mengembangkan sikap permusuhan terhadap Yani. Keduanya, baik Nasution dan Yani sama-sama anti-komunis, tetapi sikap mereka terhadap Soekarno berbeda.

Nasution mengkritik Soekarno yang dianggap mendukung PKI, sementara Yani, seorang loyalis Soekarno, mengambil sikap yang lebih lembut.

Nasution mengkritik sikap lembut Yani dan hubungan antara keduanya memburuk.

Untuk membuat keadaan menjadi lebih buruk, Yani mulai menggantikan komandan daerah yang dekat dengan Nasution dengan mereka yang dekat dengan dirinya.

Kehilangan Kesempatan

Meskipun Soeharto telah menjadi tokoh kunci pada 1 Oktober, banyak perwira Angkatan Darat lainnya masih berpaling ke Nasution untuk kepemimpinan dan mengharapkannya untuk mengambil kontrol yang lebih menentukan situasi.

Namun, Nasution tampak ragu-ragu dan perlahan tetapi pasti dukungan mulai menjauh darinya. Mungkin alasan ini adalah karena ia masih berduka atas putrinya, Ade Irma, yang meninggal pada tanggal 6 Oktober.

Dalam beberapa minggu pertama setelah G30S, Nasution-lah yang terus-menerus melobi Soekarno untuk menunjuk Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat.

Soekarno, yang setelah 1 Oktober tetap menginginkan Pranoto sebagai pimpinan angkatan darat, awalnya menjadikan Soeharto sebagai Panglima Kopkamtib, tetapi dengan lobi terus-menerus yang dilakukan Nasution, Soekarno akhirnya dibujuk dan pada tanggal 14 Oktober 1965, ditunjuklah Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat.

Sebuah peluang emas datang ke Nasution pada bulan Desember 1965 ketika ada pembicaraan tentang penunjukkan dirinya sebagai wakil presiden untuk membantu Soekarno dalam masa ketidakpastian.

Nasution tidak memanfaatkan ini dan memilih untuk tidak melakukan apa-apa.

Soeharto mengambil inisiatif pada awal 1966 dengan mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa tidak ada kebutuhan untuk mengisi kursi wakil presiden yang kosong.

Pada 24 Februari 1966, Nasution tidak lagi menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan dalam perombakan kabinet.

Posisi Kepala Staf ABRI juga dihapuskan.

Pada tahap ini, harapan bahwa Nasution akan melakukan sesuatu sekarang telah hilang, para perwira militer dan gerakan mahasiswa berada di belakang Soeharto. Namun demikian, ia terus menjadi tokoh yang dihormati, banyak perwira militer megunjunginya pada hari-hari menjelang penandatanganan Supersemar, dokumen penyerahan kewenangan dari Soekarno ke Soeharto.

Bahkan, ketika Soeharto hendak pergi Markas Kostrad untuk menunggu pengiriman Supersemar, dia menelepon Nasution dan meminta restunya.

Istri Nasution memberi restu atas nama Nasution, yang tidak hadir.

Indra politik Nasution tampaknya telah kembali setelah Soeharto menerima Supersemar.

Itu mungkin karena dia yang pertama kali menyadari bahwa Supersemar tidak hanya memberikan kekuasaan darurat kepada Soeharto tetapi juga memberinya kontrol eksekutif.

Pada 12 Maret 1966, setelah Soeharto melarang keberadaan PKI, Nasution menyarankan kepada Soeharto bahwa ia membentuk kabinet darurat.

Soeharto, masih hati-hati tentang apa yang dia bisa atau tidak bisa lakukan dengan kekuatan barunya, karena pembentukan kabinet adalah tanggung jawab presiden.

Nasution mendorong Soeharto, berjanji untuk memberikan dukungan penuh tetapi Soeharto tidak menanggapi dan percakapan berakhir tiba-tiba.

Ketua MPRS

Dengan kekuatan barunya, Soeharto mulai membersihkan pemerintahan dari pengaruh komunis.

Setelah penangkapan 15 menteri kabinet pada 18 Maret 1966, Soeharto mengincar MPRS, mencopot anggota yang dianggap simpatisan komunis dan menggantinya dengan anggota yang lebih bersimpati pada tujuan militer.

Selama pembersihan, MPRS juga kehilangan ketuanya, Chaerul Saleh, dan ada kebutuhan untuk mengisi posisi yang kosong.

Nasution adalah pilihan yang sangat populer karena semua fraksi di MPRS menominasikan dia untuk posisi Ketua MPRS.

Namun, Nasution menunggu sampai Soeharto menyatakan dukungan untuk pencalonannya sebelum menerima nominasi.

Pada 20 Juni 1966, Sidang Umum MPRS dimulai. Nasution menetapkan Supersemar sebagai agenda pertama yang akan dibahas dalam daftar dengan berjalan ke aula pertemuan dengan dokumen yang sebenarnya.

Keesokan harinya, pada 21 Juni, MPRS meratifikasi Supersemar, sehingga ilegal bagi Soekarno untuk menariknya kembali. Pada 22 Juni, Soekarno menyampaikan pidato berjudul Nawaksara (Sembilan butir) di depan sidang.

Nasution dan anggota MPRS lainnya merasa kecewa. Soekarno tidak menyebutkan apa-apa tentang G30S.

Sebaliknya, Soekarno tampaknya memberikan penjelasan tentang pengangkatannya sebagai presiden seumur hidup, rencana kerjanya sebagai presiden, dan bagaimana Konstitusi bekerja dalam praktik.

MPRS menolak untuk meratifikasi pidato ini.

Selama dua minggu ke depan, Nasution sibuk memimpin Sidang Umum MPRS.

Di bawah kepemimpinannya, MPRS mengambil langkah-langkah seperti melarang paham Marxisme-Leninisme, mencabut keputusan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, dan memerintahkan pemilihan legislatif yang akan diselenggarakan pada bulan Juli 1968.

Sidang Umum MPRS juga meningkatkan kekuasaan Soeharto dengan secara resmi memerintahkannya untuk merumuskan kabinet baru.

Sebuah keputusan juga disahkan yang menyatakan bahwa jika presiden tidak mampu melaksanakan tugasnya, ia kini akan digantikan oleh pemegang Supersemar, bukan wakil presiden.

Tahun 1966 pun berlalu, Soekarno semakin defensif dan popularitasnya di kalangan rakyat Indonesia semakin menurun.

Soeharto, yang tahu bahwa kemenangan politiknya sudah dekat, turun untuk terus-menerus memberikan kata-kata meyakinkan kepada Soekarno dan membelanya dari tuntutan para demonstran.

Jenderal lainnya seperti Nasution tidak penuh belas kasihan, Nasution menyatakan bahwa Soekarno harus bertanggung jawab atas situasi buruk yang melanda pemerintahan dan masyarakat Indonesia pada saat itu.

Nasution juga menyerukan agar Soekarno dibawa ke pengadilan.

Pada 10 Januari 1967, Nasution dan MPRS bersidang lagi dan Soekarno menyerahkan laporannya (dia tidak menyampaikan hal itu secara pribadi sebagai pidato) yang diharapkan bisa mengatasi masalah G30S.

Diberi judul "Pelengkap Nawaksara", laporan itu berbicara tentang desakan Soekarno menyebut G30S dengan Gerakan 1 Oktober (Gestok).

Pada G30S, Soekarno mengatakan bahwa PKI membuat kesalahan besar pada pagi hari 1 Oktober, tetapi juga menambahkan bahwa hal ini disebabkan oleh kecerdikan pihak neokolonialis.

Soekarno juga menambahkan bahwa jika ia akan disalahkan atas G30S, Menteri Pertahanan dan Keamanan pada saat itu (Nasution) juga harus disalahkan karena tidak melihat G30S datang dan menghentikannya sebelum terjadi.

Laporan sekali lagi ditolak oleh MPRS.

Pada bulan Februari 1967, DPR-GR menyerukan Sidang Istimewa MPRS pada bulan Maret untuk mengganti Soekarno dengan Soeharto.

Soekarno tampaknya pasrah akan nasibnya, akhirnya pada 12 Maret 1967, Soekarno secara resmi dicabut mandatnya sebagai Presiden oleh MPRS.

Nasution kemudian menyumpah Soeharto ke tampuk kekuasaan sebagai pejabat presiden.

Setahun kemudian pada 27 Maret 1968, Nasution memimpin pemilihan dan pelantikan Soeharto sebagai Presiden penuh.

Orde Baru

Jatuh dari kekuasaan

Meskipun bantuan dari Nasution memberinya kesempatan naik ke kekuasaan, Soeharto melihat Nasution sebagai saingan dan segera mulai bekerja untuk menyingkirkannya dari kekuasaan.

Pada tahun 1969, Nasution dilarang berbicara di Seskoad dan Akademi Militer.

Pada tahun 1971, Nasution tiba-tiba diberhentikan dari dinas militer, ketika berusia 53, dua tahun lebih cepat dari usia pensiun yakni 55 tahun.

Nasution akhirnya pada tahun 1972 digantikan oleh Idham Chalid sebagai Ketua MPRS.

Kejatuhan Nasution secara drastis tersebut membuatnya mendapatkan julukan sebagai Gelandangan Politik.

Oposisi terhadap Orde Baru

Setelah ia disingkirkan dari posisi kekuasaan, Nasution berkembang menjadi lawan politik Orde Baru.

Pada akhir tahun 70-an, rezim Soeharto telah berubah dari populer menjadi otoriter dan korup. Pada saat ini banyak suara mulai secara terbuka berbicara dan mengkritik rezim.

Setelah pemilu legislatif tahun 1977, di mana terdapat dugaan kecurangan pemilu yang dilakukan oleh Golkar, Nasution mengatakan bahwa ada krisis kepemimpinan pada masa Orde Baru.

Rekonsiliasi

Soeharto bersama Frits A Kakiailatu menjenguk AH Nasution yang sedang sakit di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta pada 13 Maret 1997.

Pada awal tahun 1990-an, Soeharto mulai mengadopsi kebijakan keterbukaan politik, dan penegakan hukum terhadap penandatangan Petisi 50 dilonggarkan.

Pada Juni 1993, ketika ia berada di rumah sakit karena sakit, Nasution dikunjungi oleh para petinggi militer.

Dia kemudian menerima kunjungan B.J. Habibie, Menteri Riset dan Teknologi.

Habibie kemudian mengundang Nasution dan penandatangan Petisi 50 lainnya untuk mengunjungi galangan kapal dan pabrik pesawat yang berada di bawah yurisdiksinya.

Pemerintah juga mulai mengklaim bahwa meskipun ada larangan perjalanan bagi para penandatangan Petisi 50, tetapi larangan tersebut tidak berlaku untuk Nasution.

Sementara itu, Nasution membantah telah mengkritik pemerintah, ia lebih memilih untuk menyebutnya sebagai "perbedaan pendapat".

Data Diri:

Nama: Jenderal Besar TNI (Purn.) Abdul Haris Nasution

Lahir: 3 Desember 1918

Tempat Lahir: Kotanopan, Mandailing Natal, Sumatra Utara, Hindia Belanda

Meninggal dunia: Jakarta, Indonesia, 5 September 2000

Kebangsaan: Indonesia

Partai politik: Non partai

Pasangan: Johanna Sunarti

Anak: Hendrianti Saharah

Ade Irma Suryani

Profesi Tentara

Penghargaan sipil: Pahlawan Nasional Indonesia

Dinas: Militer

Julukan: Pak Nas

Pihak:

Hindia Belanda (1941—1942)

Kekaisaran Jepang (1942—1945)

Indonesia (1945—1952, 1955—1971)

Dinas/cabang: TNI Angkatan Darat

Masa dinas: 1941–1952, 1955–1971

Pangkat: Jenderal Besar TNI

Komando: Panglima Divisi Siliwangi

Pertempuran/perang: Revolusi Nasional Indonesia

Karier:

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara ke-2 (1966–1972)

Menteri Pertahanan dan Keamanan Indonesia ke-12 (10 Juli 1959 – 24 Februari 1966)

Artikel ini telah tayang di WartakotaLive.com

Tautan:

https://wartakota.tribunnews.com/2019/09/30/g30s-pki-kisah-herok-istri-jenderal-ah-nasution-selamatkan-sang-suami-dari-kekejaman-cakrabirawa?page=all

https://makassar.tribunnews.com/amp/2019/10/01/kisah-ah-nasution-selamat-dari-kekejaman-cakrabirawa-di-g30spki-karena-sang-istri-dan-profilnya?page=all

Berita Terkini