TRIBUNMANADO.CO.ID - Akhirnya terungkap hak anak yang telah dilanggar mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi.
Hal itu dijelaskan Komnas HAM setelah melakukan pemeriksaan.
Diketahui, Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi memiliki empat orang anak.
Dalam laporan temuan Komnas HAM untuk Polri yang dirilis pada Kamis (1/9/2022), hak anak juga disebutkan sebagai satu dari empat pelanggaran HAM yang ditemukan dalam kasus Brigadir J atau Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Dalam kasus ini, hak bagi anak-anak dari pasangan Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi, menurut Komnas HAM telah dilanggar.
Hak anak itu berupa perlindungan dari kekerasan fisik dan mental sebagai tercantum dalam undang-undang.
“Hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan fisik maupun mental dijamin dalam Pasal 52 dan 58 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,” tulis laporan itu dilihat Jumat (2/9/2022).
“Faktanya, akibat dari peristiwa kematian Brigadir J, terjadi pelanggaran hak anak khususnya hak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan psikis/mental terhadap anak-anak dari Sdr. FS dan Sdri. PC,” tulis laporan itu.
Sebagai informasi, pasangan itu memiliki empat orang anak, salah satunya masih balita berumur 1,5 tahun.
Sebelumnya seperti diberitakan KOMPAS.TV penyidik Polri disebut mengabulkan permohonan istri Ferdy Sambo
untuk tidak ditahan usai diperiksa sebagai tersangka kasus pembunuhan berencana Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Kuasa hukum Putri, Arman Hanis, mengungkapkan permohonan itu diajukan dengan alasan kemanusian karena kliennya masih masih memiliki anak kecil dan kondisi kesehatannya masih kurang stabil.
Putri, kata Arman, untuk sementara ini hanya diwajibkan menjalankan wajib lapor dua kali dalam seminggu.
"Ibu Putri masih mempunyai anak kecil dan Ibu Putri masih dalam keadaan tidak stabil,
sehingga kami mengajukan permohonan untuk tidak dilakukan penahanan terhadap Ibu Putri tetapi diberikan wajib lapor dua kali seminggu," katanya di Mabes Polri, Rabu (31/8/2022).
Diketahui, Polri telah menetapkan lima tersangka dalam kasus pembunuhan berencan Brigadir J. Mereka yaitu Ferdy Sambo, Bharada Richard Eliezer, Bripka Ricky Rizal, Kuat Ma'ruf, serta Putri Candrawathi.
Lima tersangka tersebut dijerat Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),
Ancaman pidananya maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup, atau penjara selama-lamanya 20 tahun.
Adapun empat dari lima tersangka sudah ditahan kecuali Putri Candrawathi.
Manipulasi yang dilakukan Ferdy Sambo
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengeluarkan laporan hasil pemantauan dan penyelidikan peristiwa pembunuhan Brigadir Pol Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J di rumah dinas Kadiv Propam Polri.
Dalam laporan tersebut, Komnas HAM merinci beragam manipulasi yang diduga dilakukan oleh bekas Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo.
“Di dalam peristiwa kematian Brigadir J telah terjadi obstruction of justice (perbuatan menghalang-halangi proses hukum, red),” ucap Komisioner Komnas HAM Choirul Anam saat membacakan laporannya, Kamis (1/9/2022).
Obstruction of justice diduga dilakukan oleh Ferdy Sambo dengan membuat skenario dan mengonsolidasikan saksi.
Setidaknya dalam laporan Komnas HAM ada tiga hal yang masuk dalam kategori mengonsolidasikan saksi.
Antara lain, menyeragamkan kesaksian para saksi, baik mengenai latar belakang peristiwa, tempat kejadian perkara, dan alibi Ferdy Sambo di tempat kejadian perkara (TKP).
Lalu menginstruksikan saksi ADC untuk mempelajari soal penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, dan penggunaan senjata.
Hingga meminta saksi ADC menghapus atau menghilangkan sesuatu yang merugikan.
Tak hanya itu, dalam laporan Komnas HAM, manipulasi juga dibongkar bersama temuan adanya upaya mengonsolidasi TKP.
“Mengubah lokasi TKP terjadinya dugaan Kekerasan Seksual. Adanya tindakan perusakan, pengambilan, dan/atau penghilangan CCTV dan/atau decoder di TKP dan di sekitar TKP,” kata Choirul Anam.
“Adanya tindakan dalam penanganan TKP yang tidak sesuai prosedur. Adanya pembiaran terhadap pihak-pihak yang tidak memiliki otoritas untuk memasuki TKP.
Adanya upaya untuk mensterilisasi wilayah rumah dinas Kadiv Propam Polri dari kehadiran wartawan.”
Kemudian, Komnas HAM juga menilai adanya narasi yang dibuat dalam upaya mengaburkan fakta dalam kasus pembunuhan Brigadir J.
Pertama, narasi bahwa peristiwa terjadi di Duren Tiga dan dilatarbelakangi tindakan Brigadir J yang diduga melakukan pelecehan seksual sambil menodongkan senjata api terhadap Putri Candrawathi yang merupakan istri Ferdy Sambo, serta menembak Bharada RE atau Richard Eliezer.
Kedua, dibuatnya dua laporan ke Polres Metro Jakarta Selatan tentang dugaan percobaan pembunuhan terhadap Bharada RE, dan dugaan tindak pidana pelecehan seksual terhadap Putri Candrawathi.
Lantas, dibuat video guna menyesuaikan dengan skenario.
Komnas HAM juga menemukan ada penggunaan pengaruh jabatan, di mana ada perintah bagi anggota kepolisian untuk mengikuti skenario Ferdy Sambo.
Selain itu, dalam pengaruh jabatan juga ada pembuatan dua laporan di Polres Metro Jakarta Selatan.
“Proses BAP atas dua laporan dilakukan tidak sesuai prosedur, hanya formalitas dan tinggal ditandatangani.
Pemeriksaan di awal kejadian terhadap Bharada RE, Bripka RR (Ricky Rizal, red), dan Sdr. KM (Kuat Ma'ruf, red) tidak dilakukan sesuai prosedur,” ungkap Choirul Anam.
“Anggota Kepolisian yang tidak memiliki otoritas memasuki TKP. Permintaan kepada Kepala RS Bhayangkara S. Sukanto untuk menyiapkan autopsi.”
Selanjutnya, manipulasi lainnya adalah menghilangkan dan merusak barang bukti terkait peristiwa pembunuhan Brigadir J.
“Adanya upaya menghilangkan dan/atau mengganti barang bukti handphone oleh pemiliknya sebelum diserahkan ke Penyidik.
Adanya tindakan penghapusan jejak komunikasi berupa pesan, panggilan telepon dan data kontak. Penghapusan foto TKP,” beber Choirul Anam.
“Adanya tindakan perusakan, pengambilan, dan/atau penghilangan CCTV dan/atau decoder di TKP dan sekitarnya.
Adanya pemotongan/penghilangan video CCTV yang menggambarkan rangkaian peristiwa secara secara utuh sebelum, saat, dan setelah kejadian. Adanya perintah untuk membersihkan TKP.”
(*)
Artikel ini tayang di Kompas TV