PTUN memutuskan mengembalikan anak ke sekolah.
“Meski hak-hak ketiga anak atas keyakinan beragama dan pendidikan dihormati dan diteguhkan di PTUN, sehingga mereka kembali ke sekolah, namun mereka diperlakukan secara tidak adil karena tidak naik kelas untuk alasan yang tidak sah”, ungkap Retno.
Tinggal Kelas Kali Kedua (2019-2020) : Tidak diberikan pelajaran Agama dan tidak punya nilai Agama
Sejak ketiga anak kembali ke sekolah melalui putusan PTUN Samarinda, ketiga anak dibiarkan tanpa akses pada kelas pendidikan Agama Kristen yang disediakan sekolah.
AT (orangtua ketiga anak korban) telah berulangkali meminta agar anak-anak diberikan pelajaran Agama Kristen, agar bisa naik kelas, namun itu dipersulit dengan berbagai syarat yang tidak berdasar hukum.
Keadaan dimana terus dibiarkan oleh sekolah hingga akhir tahun ajaran, ketiga anak tidak naik kelas karena tidak punya nilai pelajaran Agama Kristen.
“Selama tahun ajaran 2019-2020, Bapak AT terus berupaya meminta agar ketiga anaknya diberikan akses pendidikan Agama dari pihak sekolah. AT tidak pernah menolak kelas Agama Kristen tersebut, bahkan memintanya,” ujar Retno.
Retno menambahkan, sekolah mensyaratkan agar Bapak AT mendapatkan rekomendasi dari Bimans Kristen Kota Tarakan agar dapat akses pada pelajaran Agama Kristen. Hal mana dilakukan oleh Bapak Tunbonat, hingga mendapatkan Surat Rekomendasi dari Kementerian Agama No.: B.017/KK.34.03/6/BA.03/01/2020 tanggal 3 Januari 2020.
DR yang merupakan Guru Pendidikan Jasmani dan Pembimbing Pendidikan Agama Kristen SDN 051, mengakui bahwa sejak awal tahun 2019, bapak AT sudah terus menemuinya untuk memohon agar ketiga anaknya dilibatkan dalam pelajaran Agama di sekolah.
Namun dirinya keberatan karena adanya perbedaan akidah dan ajaran antara keyakinannya dan agama ketiga anak sebagai Kristen Saksi-Saksi Yehuwa.
Karena ketiadaan pelajaran Agama, Sidang Jemaat Kristen Saksi-Saksi Yehuwa Tarakan pernah mengeluarkan surat tertanggal 20 Juli 2021, yang menerangkan bahwa selama tahun ajaran 2019-2020, ketiga anak tersebut belajar Agama di tempat ibadahnya.
Meskipun seharusnya itu bisa dipertimbangkan sebagai sumber pendidikan Agama dari Lembaga masyarakat (non-formal), namun sekolah mengabaikannya dan tetap memutuskan agar ketiga anak tidak naik kelas.
“Sekolah telah melanggar hukum dengan sama sekali tidak memberikan pelajaran Agama, menetapkan syarat-syarat yang tidak berdasar hukum, serta mempersoalkan keyakinan Agama dari ketiga anak”, ujar Retno.
Retno menambahkan, sekolah bukan hanya tidak mampu memberikan pendidikan agama dari guru yang seagama bagi ketiga anak tersebut, sebagaimana ketentuan dalam peraturan perundangan. Namun dengan aktif menghalangi ketiga anak mendapatkannya.