Peristiwa G30S PKI

Kisah Burhan Kapak jadi Algojo Antek PKI seusai Tragedi G30S: 'Daripada Dibunuh Lebih Baik Membunuh'

Editor: Frandi Piring
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kisah Burhan Kampak 'Kapak', algojo pembantai anggota PKI seusai tragedi G30S 1965.

Ia menceritakan bahwa pada awal tahun 1965, dirinya dikeluarkan sebagai mehasiswa Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada pada tahun ketiga karena memasang spanduk dan poster pembubaran Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), yang merupakan organisasi di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI).

Burhan menceritakan semasa mahasiswa, pada saat menempel poster tersebut, ia ditendang hingga jatuh oleh anak CGMI.

Ia juga sempat diberi cap oleh anak-anak CGMI sebagai mahasiswa kontrarevolusioner karena menentang konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) Presiden Soekarno.

Burhan juga menyatakan sebelum terjadi G30S, pada kisaran tahun 1963-1964, CGMI sering meneror kelompok dan mahasiswa yang beralilan Islam.

Ia menuturkan bahwa hampir setiap hari, para anggota dan simpatisan PKI menggelar demonstrasi di Malioboro dan tempat-tempat strategis di Yogyakarta.

Kebencian Burhan memuncak setelah mendengar pidato Ketua Comite Central (CC) PKI, Dipa Nusantara Aidit yang menyinggung organisasi HMI.

Kongres III CGMI yang diadakan pada 29 September 1965 mengatakan "kalau CGMI tak mampu menyingkirkan HMI dari kampus, sebaiknya mereka sarungan saja".

Ketika peristiwa G30S meletus, Burhan mengaku sering melakukan perlawanan terhadap orang-orang PKI dan simpatisannya.

Terkhusus ia menyebut melakukan perlawanan setelah kedatangan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad)

dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) ke Yogyakarta pada bulan Oktober 1965 di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo.

Ia menuturkan, operasi penumpasan anggota PKI dan simpatisannya ia lakukan bersama tentara.

Burhan mengaku diminta membuat pagar betis, lalu tentara yang melakukan operasi.

Ia menambahkan, "karena masyarakat dan organisasi Islam juga menaruh dendam, kami pun sering bergerak sendiri".

Saat melakukan penumpasan, Burhan berposisi sebagai staf satu, Laskar Ampera Aris Margono dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).

Ia mengaku telah mendapat "License to kill".

Halaman
123

Berita Terkini