Meski demikian, kata Andika, penelitian tersebut secara umum memiliki kemiripan dengan Vaksin Nusantara, dalam hal penggunaan sel dendritik.
Namun demikian, kata dia, bedanya adalah penelitian tersebut lebih sederhana dan tidak menghasilkan vaksin.
"Ini tidak ada hubungannya dengan vaksin, sehingga tidak perlu izin edar."
"Karena memang dilakukan menggunakan metode yang autologus, dan tidak ada produksi massal, sehingga tidak diperlukan izin edar," jelas Andika.
Andika menjelaskan, sejak 2017 RSPAD Gatot Soebroto telah memulai penelitian berbasis sel dendritik dan metode-metode yang bersifat imunoterapi.
RSPAD Gatot Soebroto, kata dia, juga telah memiliki fasilitas tersebut, yakni cell cure center.
"Jadi terus berbasis sel dendritik, kemudian menggunakan juga metode-metode yang bersifat imunoterapi, dan kebetulan RSPAD memang memiliki fasilitas itu."
"2017 sudah siap teknologinya dari Jerman."
"Kita mengirimkan tim selama 6 bulan untuk melakukan pendalaman, dan sampai dengan 2019."
"Jadi 2 tahun pun dikawal dari tim teknis dari Jerman, mengawal pada operasional cell cure center ini di RSPAD," ungkap Andika.
Namun demikian, saat itu penelitian sel dendritik di RSPAD hanya ditujukan untuk penyakit kanker, lupus, alergi, dan penyakit autoimun lain.
Berbekal kemampuan dan pengalaman tersebut, kata Andika, RSPAD melakukan penelitian sel dendritik terkait covid-19.
"Apakah ini bisa? Bisa, saya yakin bisa dan pemerintah pun juga mempercayakan itu kepada kami, walaupun sifatnya tadi tidak untuk komersil ya."
"Karena tidak untuk komersil maka tidak diperlukan izin edar dari BPOM," papar Andika.
Menkes Budi Gunadi Sadikin, Andika, dan Kepala BPOM Penny K Lukito, menandatangani nota kesepahaman 'Penelitian Berbasis Pelayanan Menggunakan Sel Dendritik untuk Meningkatkan Imunitas Terhadap Virus SARS-CoV-2', di Mabes TNI AD, Jakarta, Senin (19/4/2021) pagi.
Berdasarkan keterangan Dinas Penerangan TNI AD, penelitian yang akan dilakukan di RSPAD Gatot Soebroto tersebut akan mempedomani kaidah penelitian sesuai ketentuan peraturan perundangan.
Penelitian tersebut juga bersifat autologus, yang hanya digunakan untuk diri pasien sendiri, sehingga tidak dapat dikomersialkan dan tidak diperlukan persetujuan izin edar.
Penelitian ini bukan merupakan kelanjutan dari 'Uji Klinis Adaptif Fase 1 Vaksin yang Berasal dari Sel Dendritik Autolog yang Sebelumnya Diinkubasi dengan Spike Protein SARS-CoV-2 pada Subjek yang Tidak Terinfeksi Covid-19 dan Tidak Terdapat Antibodi Anti SARS-CoV-2.
Alasannya, uji klinis fase 1 program yang kerap disebut Vaksin Nusantara itu masih harus merespons beberapa temuan BPOM yang bersifat critical dan major.
Penandatanganan tersebut disaksikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhajir Effendy. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Terima Suntikan Vaksin Nusantara, Moeldoko: Semoga Tidak Diasumsikan Macam-macam"
dan di TribunBatam.id dengan judul Moeldoko Disuntik Vaksin Nusantara oleh Terawan: Semoga Tidak Diasumsikan Macam-macam
Artikel Terkait Vaksin Nusantara