Pajak Sembako

Soal Pajak Sembako, Menkeu Sri Mulyani Menjelaskan Jenis Beras dan Daging yang Nanti Dikenai Pajak

Editor: Glendi Manengal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani.

Pedagang Keberatan

Wacana pemerintah ingin memberlakukan PPN terhadap sembako dan pendidikan menjadi 12% melalui revisi kelima Undang-undang No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menuai banyak protes dari masyarakat, legislatif dan partai politik.

Kenaikan ini meskipun masih dalam pembahasan dipastikan akan membebani ekonomi masyarakat dan pelaku usaha yang selama ini sudah sangat tertekan selama menghadapi pandemi covid 19.

Lebih dari itu, wacana tersebut dapat memporakporandakan upaya pemulihan ekonomi nasional yang dilakukan pemerintah.

Forum Komunikasi Pengusaha dan Pedagang Pangan (FKP3) menyatakan  menolak rencana pemerintah menaikkan besaran pajak pertambahan nilai (PPN) atas produk sembilan bahan pokok (sembako).

Ketua FKP3 Aminullah dalam keterangan persnya, Senin (14/6/2021) mengungkapkan dengan PPN yang lama saja dengan besaran 10 persen, para pedagang sudah sulit menjual barang-barangnya.

"Karena pasar makin sepi akibat Covid 19. Kalau PPN mau dinaikkan jadi 12 persen bakal banyak pedagang gulung tikar karena masyarakat akan mengerem konsumsi," ujarnya.

Aminullah mengingatkan, masyarakat dan pedagang kecil sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dibebankan pajak tinggi. Saat ini masih bisa dagang saja sudah bersyukur.

"Apa tidak ada sumber pendanaan lain yang bisa digali pemerintah untuk menutupi krisis anggaran negara," ujarnya.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan,
pengenaan PPN terhadap sembako akan mengancam ketahanan pangan, terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah.

Apalagi, lebih dari sepertiga masyarakat Indonesia tidak mampu membeli makanan yang bernutrisi karena harga pangan yang mahal.

"Menambah PPN akan menaikkan harga dan memperparah situasi, apalagi di tengah pandemi ketika pendapatan masyarakat berkurang,” tegas Felippa.

Produk pangan menurutnya berkontribusi besar pada pengeluaran rumah tangga dan bagi masyarakat berpendapatan rendah, belanja kebutuhan pangan bisa mencapai sekitar 56 persen dari pengeluaran rumah tangga mereka.

"Pengenaan PPN pada sembako tentu saja akan lebih memberatkan bagi golongan tersebut, terlebih lagi karena PPN yang ditarik atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), pada akhirnya akan dibebankan pengusaha kepada konsumen," ungkapnya.

Terkait dugaan permainan rente ekonomi seperti kuota impor yang bisa menjadi pemasukan negara hingga triliunan rupiah ketimbang mengenakan PPN, Felippa menilai fenomena tersebut terjadi karena banyak diskresi dalam prosesnya dan tidak transparan. Penetapan kuota impor sangat tergantung pada diskresi pihak-pihak yg menerbitkan izin.

Halaman
123

Berita Terkini