Apalagi, junta militer sudah mengancam bakal menahan setiap anggota keluarga dari polisi yang mengungsi.
(Foto: Warga mengikuti aksi protes menolak kudeta militer di Yangon, Myanmar, Selasa (2/3/2021). Gambar diambil dari balik jendela. )
Anggota lain, yang kabur bersama keluarganya menerangkan, mereka tidak ingin hidup dalam kekuasaan junta.
"Kami tidak bisa hidup damai bersama mereka. Saya siap mengorbankan nyawa bagi demokrasi jika dibutuhkan," tegasnya.
Dilansir Sabtu (13/3/2021), keterangan mereka mengungkapkan detil seperti apa perintah yang diberikan kepada pihak berwajib.
Sebelumnya, PBB sudah mengecam dan menuding Tatmadaw, nama kantor junta militer Myanmar, menggunakan kekuatan mematikan ke demonstran.
Total, sudah ada 75 orang tewas dalam aksi protes menentang kudeta yang dilakukan militer pada 1 Februari lalu.
Para polisi yang membangkang itu berujar, saat ini yang harus dilakukan dunia adalah bertindak lebih dari sekadar sanksi ekonomi dan diplomasi.
"Pasukan perdamaian PBB harus dikerahkan untuk melawan perbuatan tidak manusiawi yang terjadi di sana," jelasnya.
Mereka menegaskan ingin mendapatkan senjata dan sumber daya cukup.
Apalagi, banyak rekan mereka yang mulai menentang junta.
Namun Kini, kekhawatiran mereka bertambah setelah pemerintah India mengirim pesan ke pejabat perbatasan di mana India diminta mengidentifikasi migran ilegal dan memulangkan mereka.
Agar proses deportasi berjalan secepat mungkin, dinas penegakan hukum hingga intelijen dikerahkan.
Salah satu polisi mengatakan, "Kami tentu akan dibunuh jika sampai mereka (India) memulangkan kami."
Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan Judul 'Saya Tak Bisa Menembak Bangsa Saya Sendiri', Inilah Pengakuan Polisi Myanmar yang Pilih Membangkang dan Kabur ke India daripada Tembak dan Siksa Demonstran