Selain itu, Pasal 96 ayat (4) UU 12/2011 juga telah mengatur bahwa setiap RUU harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Sehingga hal ini mengindikasikan menutup transparansi dan partisipasi publik. "Saat ini reaksi yang begitu keras menolak disahkannya UU Cipta Kerja ini setidaknya telah menimbulkan keresahan bagi publik, dan kaum pekerja pada khususnya. Perlu adanya respect dari eksekutif dan legislatif untuk dapat meninjau kembali UU Cipta Kerja ini.
Pimpinan DPR-RI sekiranya dapat lebih arif dan bijaksana merespons tanggapan publik, bisa saja dengan melakukan koreksi atas kekeliruan prosedur dan cacat substansi pada RUU Cipta Kerja dengan mengembalikan RUU ini kepada Presiden.
Bahkan juga dapat memberikan teguran kepada Pimpinan Baleg yang dengan sengaja mempercepat proses pembahasan tingkat satu RUU Cipta Kerja ini, padahal RUU ini mendapatkan penolakan dari publik, baik dari aspek substansi maupun proses pembentukannya.
Sangat disayangkan jika kebijakan UU Cipta Kerja ini justru mengakomodir kepentingan politis dari kaum elite, bukan mengakomodir kepentingan nasional. Hal ini justru akan menimbulkan keresahan dan gejolak dari kaum pekerja di Indonesia, dengan kekuatan mereka 126,51 juta orang (berdasarkan data Agustus 2019) atau 47,25 persen dari jumlah penduduk. (ara/fis/mjr/hem)