Penulis: Asep Rahman SKM MKes (Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Unsrat, Sekretaris Lembaga Kesehatan NU Sulawesi Utara)
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Jika seorang dokter dapat menyelamatkan nyawa seorang manusia, maka seorang ilmuwan dapat menyelamatkan nyawa ribuan orang.
Namun, pengambil kebijakanlah yang sesungguhnya sedang mempertaruhkan jutaan nyawa manusia untuk diselamatkan atau sebaliknya.
Hari ini kita diperkenalkan istilah The New Normal oleh pengambil kebijakan kita, tentu ada konsekuensi jika diterapkan secara massif.
Istilah The New Normal, jika dikutip dari ensiklopedia bebas berbasis sukarelawan online bernama Wikipedia, menyebutkan bahwasanya kata ini berawal dari istilah ekonomi untuk menggambarkan perubahan sektor ekonomi.
Di mana sejumlah aktivitas yang sebelumnya abnormal menjadi sesuatu yang lumrah paskah resesi ekonomi global tahun 2008 hingga 2012.
Wikipedia sendiri memang tidak bisa menjadi rujukan ilmiah, namun standar penulisan Wikipedia yang mulai mewajibkan relawannya mencantumkan sumber kepustakaan bisa menjadi acuan yang cukup kredibel.
Era disrupsi ekonomi yang sangat cepat seperti saat ini, maka paradigma The New Normal merupakan hal yang mutlak diadopsi.
Karena The New Normal menawarkan cara pikir out the box, maka sangat cocok bagi seorang entrepreneur untuk bertransformasi menggunakan paradigma The New Normal sebagai way of life .
• Rapid Test Untuk Pedagang, Malah Kepala Dinas yang Duluan, Katanya Supaya Jadi Contoh
Dalam kacamata kesehatan, The New Normal sangat erat kaitannya dengan konsep perubahan perilaku.
Perubahan kebiasaan baru seperti penggunaan masker di tempat publik, jaga jarak, bahkan membangun budaya cuci tangan merupakan komponen The New Normal dari sisi kesehatan.
Pada skala individu, The New Normal sangat mungkin dijalankan, namun dalam konsep interaksi sosial bermasyarakat tidaklah sesederhana itu.
Perlu dicatat bahwasanya perubahan perilaku tidak pernah berdiri tunggal melainkan harus didukung bersamaan dengan stimulus lainnya berupa edukasi dan ‘pengkondisian’.
Edukasi dilakukan untuk merubah seseorang dari tidak tahu menjadi tahu, dari tahu menjadi mau, serta dari mau menjadi mampu.
Oleh karena itu, metode dan model edukasi publik terkait covid-19 perlu mempertimbangkan level pengetahuan individu atau komunitas yang menjadi target edukasi.