Tapi keinginan untuk sekolah lebih tinggi harus terkubur.
Kartini harus menikah dengan seorang bangsawan Rembang bernama KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat pada 1903.
Meski telah menikah, Kartini tetap berjuang memperhatikan kaumnya. Kaum perempuan.
Kartini menuangkan pemikirannya lewat tulisan yang dimuat oleh majalah perempuan di Belanda, De Hoandsche Lelie.
Bahkan, Kartini juga mengirim surat ke teman-temannya di Belanda, salah satunya bernama Rosa Abendanon.
Dilansir dari Encyclopaedia Britannica (2015), dalam surat yang ditulisnya, Kartini menyatakan keprihatinannya atas nasib-nasib orang Indonesia di bawah kondisi pemerintahan kolonial.
Ini juga untuk peran-peran terbatas bagi perempuan Indonesia.
Bahkan, Kartini menjadikan hidupnya sebagai model emansipasi.
Tulisan-tulisan Kartini yang dimuat dalam majalah dan yang dikirim ke teman-temannya dibukukan oleh Jacques Henrij Abendanon.
Jacques Henrij Abendanon kala itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda.
Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht atau Dari Kegelapan menuju Cahaya.
Pada 1922, tulisan itu diterbitkan menjadi buku kumpulan surat Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang : Boeh Pikiran, oleh Balai Pustaka.
Buku memperoleh respon positif dari masyarakat dan mendapat dukungan di Belanda. Bahkan dibentuk Yayasan Kartini pada tahun 1916.
Yayasan itu kemudian mendirikan sekolah perempuan di beberapa daerah Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang hingga Cirebon.
Meninggal