Kecewa Vonis Kasus First Travel: Begini Penjelasan Jaksa Agung

Penulis: Tim Tribun Manado
Editor: Lodie_Tombeg
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Jaksa Agung ST Burhanuddin Sindir Anggotanya yang Menyimpang, Tak Ada Ampun bagi Pencela hingga Pemeras

TRIBUNMANADO.CO.ID, BANDUNG - Putusan Mahkamah Agung (MA) menyangkut barang bukti kasus penipuan First Travel, perusahaan perjalanan umroh, terus menjadi kontroversi. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menganggap putusan kasasi MA yang menyerahkan hasil lelang barang bukti kepada negara itu tidak sesuai tuntutan jaksa.

Gates Gusur Bezos: Inilah 10 Orang Terkaya di Dunia

Menurut Burhanuddin, seharusnya aset yang disita dari pasangan suami istri,Anniesa Hasibuan dan Andika Surachman, tersebut dikembalikan kepada ribuan korban. Oleh karena itu Jaksa Agung menganggap putusan tersebut bermasalah.

"Padahal berdasarkan tuntutan kami, (aset barang bukti) dikembalikan kepada korban, putusan itu kan jadi masalah," kata Burhanuddin ketika ditemui di Bandung, Minggu (17/11).

Dalam perkara tersebut, jaksa menerapkan pasal 378 KUH Pidana tentang penipuan, pasal 372 juncto pasal 55 ayat 1 KUH Pidana tentang penipuan secara bersama-sama, serta pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Jaksa itu mengacu kepada fakta para jemaah gagal berangkat umrah meski sudah membayar sejumlah uang. Dari perkara tersebut, diketahui uang digunakan oleh bos First Travel untuk belanja barang-barang mewah.

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok menjatuhkan vonis terhadap Direktur Firsr Travel, Andika Surachman dan istrinya Anniesa Hasibuan, masing-masing 20 tahun dan 18 tahun penjara. Adapun Direktur Keuangan First Travel, Kiki Hasibuan dihukum 15 tahun penjara.

Sedangkan permasalahan muncul ketika putusan kasasi di MA yang menetapkan seluruh harta First Travel bukan dikembalikan ke jemaah, melainkan dirampas oleh negara.

Batik Air Mendarat Darurat: KNKT Selidiki Pilot Pingsan

Oleh karena itu, kata Burhanuddin, kejaksaan sedang membahas permasalahan tersebut.
Ia menyebut pihaknya sedang mencari upaya hukum yang bisa ditempuh, karena putusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap.

Kuasa hukum korban jamaah First Travel, Luthfi Yazid melayangkan keberatan dan somasi terhadap pernyataan Kepala Kejaksaan Negeri Depok terkait rencana penjualan aset First Travel dan hasilnya akan diserahkan kepada negara.

"Kami selaku kuasa hukum dari korban menyatakan keberatan pernyataan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Depok, Jawa Barat,Yudi Triadi akan dilakukan penjualan aset dan penjualannya diserahkan kepada negara," kata Luthfi, di Jakarta, Jumat lalu.

Berangkatkan korban

Kemudian, pernyataan Kajari Depok Yudi Triadi yang dimuat berbagai media massa agar jamaah korban First Travel mengikhlaskan uangnya dan pahala umrahnya sudah tercatat dan diterima dalam ajaran Islam, dinilai sama sekali tidak memiliki dasar hukum.

Kajari juga menyebutkan, "Daripada ini uang jadi ribut dan konflik di masyarakat, akhirnya diputuskan agar uang tersebut diambil negara." Menurut Luthfi pernyataan itu tak berdasar.

"Pertanyaannya, dimana letak keadilan bagi para jamaah. Dimana tanggung jawab konstitusional negara dalam memberikan perlindungan atas hak-hak fundamental warganya dalam menjalankan aktivitas keagamaannya," ujarnya.

Kuasa hukum menilai wajar jika ada korban yang mempertanyakan mengapa dalam kasus lainnya seperti kasus lumpur Lapindo atau Bank Century, pemerintah mau menalangi dan menyelesaikan kasus tersebut.

Umat Islam Diimbau Tenang: Sukmawati Memberikan Penjelasan

"Mengapa dalam kasus First Travel tidak. Bukankah Lapindo, Bank Century, maupun First Travel adalah sama-sama perusahaan dan sama-sama terdapat korban, bahkan dalam kasus First Travel korbannya lebih masif," tambahnya.

Jika Kajari tidak ingin ribut dan konflik, seperti yang dikatakannya, menurut kuasa hukum seharusnya berupaya mencari solusi agar uang korban yang disetor ke First Travel sebanyak Rp 900 milliar bisa kembali. Bisa juga jemaah yang jumlahnya sekitar 63 ribu orang dapat diberangkatkan umroh.

Atau setidaknya, uang dari hasil lelang yang dilakukan jaksa sebagai eksekutor negara dibagikan pada para korban. "Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 589 Tahun 2017 pada intinya menyebutkan uang jamaah wajib dikembalikan dan atau jamaah diberangkatkan ke Tanah Suci untuk umroh," katanya.

Kuasa hukum berpendapat, apabila proses dan pelaksanaan lelang tetap dilanjutkan dan hasil lelang diserahkan kepada negara, negara wajib memberangkatkan korban yang gagal umroh.

Penyitaan Aset First Travel Membingungkan

Eksekusi putusan pengadilan terkait pengambilan aset First Travel oleh negara ramai diperbincangkan. Pasalnya, aset First Travel yang notabene berasal dari uang para korban justru diputuskan dirampas oleh negara berdasarkan putusan kasasi Nomor 3096 K/Pid.Sus/2018.

Menanggapi hal itu, pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih mengaku bingung dengan putusan tersebut. Yenti menilai, sebenarnya yang paling berhak atas aset tersebut adalah para korban. ”Uang itu uang siapa? Uang negara atau uang swasta atau masyarakat atau perorangan? Kalau uang negara kembali ke negara, kalau bukan uang negara yang harus ke pemilik awalnya,” kata Yenti, Sabtu (16/11).

Dosen hukum pidana bidang ekonomi dan tindak pidana khusus Fakultas Hukum Trisakti itu mengatakan, keputusan merampas aset First Travel untuk negara itu dilematis mengingat jumlah korban yang begitu banyak. Menurut Yenti, perampasan aset dilakukan karena merupakan hasil tindak pidana pencucian uang atau aliran hasil kejahatan. Jika proses sudah selesai, menurut Yenti, seharusnya dikembalikan sesuai Pasal 46 KUHP. Namun, hal itu kembali lagi berdasarkan putusan pengadilan.

"Hanya memang harus ada mekanisme untuk memastikan bahwa mengingat hasil kejahatan itu ada yang berupa aset juga,” kata doktor pertama di Indonesia dalam bidang pencucian uang itu. ”Maka harus dipikirkan bagaimana pengelolaan aset tersebut, seperti lelang dan sebagainya, untuk memastikan para korban calon jemaah bisa mendapatkan haknya secara proporsional, mengingat jumlah korban juga banyak,” lanjutnya.

Tapi, yang terpenting menurut Yenti adalah tidak mungkin barang sitaan itu kemudian diputus dengan harus dirampas untuk negara. Padahal, dalam kasus ini yang dirugikan adalah nasabah calon jamaah.

”Pencucian uang juga gunanya untuk perampasan kembali dari penelusuran aset (follow the money) yang mana hasil kejahatan itu yang kemudian dikembalikan kepada yang berhak. Dalam hal ini yang berhak ya korban First Travel,” katanya.

Putusan Kasasi kasus First Travel sendiri diketok oleh Ketua Majelis Andi Samsan Nganro dengan anggota Eddy Army dan Margono pada 31 Januari 2019. Dalam pertimbangannya, alasan MA memutuskan aset First Travel dirampas oleh negara adalah bahwa terhadap barang bukti Nomor urut 1 sampai dengan Nomor urut 529, Pemohon Kasasi I/Penuntut Umum sebagaimana memori kasasinya memohon agar barang-barang bukti tersebut dikembalikan kepada para calon jamaah PT First Anugerah Karya Wisata melalui Pengurus Pengelola Asset Korban First Travel berdasarkan Akta Pendirian Nomor 1, tanggal 16 April 2018 yang dibuat dihadapan Notaris Mafruchah Mustikawati, SH, M.Kn, untuk dibagikan secara proporsional dan merata. Akan tetapi sebagaimana fakta hukum di persidangan, ternyata Pengurus Pengelola Asset Korban First Travel menyampaikan surat dan pernyataan penolakan menerima pengembalian barang bukti tersebut

Kemudian menurut hakim, bahwa sebagaimana fakta di persidangan, barang-barang bukti tersebut merupakan hasil kejahatan yang dilakukan oleh para Terdakwa dan disita dari para Terdakwa yang telah terbukti selain melakukan tindak pidana Penipuan juga terbukti melakukan tindak pidana Pencucian Uang. Oleh karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 39 KUHP juncto Pasal 46 KUHAP barang-barang bukti tersebut dirampas untuk Negara.

Senada dengan Yenti, pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai dirampasnya aset First Travel untuk negara merupakan putusan keliru. Fickar menganggap hakim MA mengambil putusan kasasi di luar kewenangannya.

”Putusan ini keliru. Mestinya barang bukti aset diserahkan kepada korporasinya untuk kemudian berurusan secara perdata dengan para korban. Hakim pengadilan pidana telah melampaui kewenangannya," ujar Fickar.

Hakim kamar pidana MA, kata Fickar, semestinya tidak ikut mengambil keputusan yang bersifat perdata. ”Seharusnya hakim pidana hanya mengadili perbuatan dan menghukum penjara, sedangkan menyangkut aset merupakan kewenangan pengadilan perdata atau kepailitan. Jadi seharusnya dikembalikan kepada PT First Travel. Kecuali korporasinya ini dijadikan terdakwa, bisa menjadi alasan dirampas untuk negara,” ujar Fickar.

Korban yang merasa dirugikan, sebutnya, dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Pihak tergugat bisa ditujukan kepada First Travel atau kejaksaan sebagai perwakilan pihak negara.

”Masyarakat bisa menggugat secara perdata juga. Gugatan bisa ditujukan kepada korporasi (PT First Travel) dan negara, dalam hal ini kejaksaan yang melelang,” kata Fickar. (tribun network/den/vin/dwi/kps/dtc/dod)

Perjalanan Kasus First Travel

1 Juli 2009

First Travel mengawali usahanya dari sebuah bisnis biro perjalanan wisata di bawah bendera CV First Karya Utama.

Awal 2011

First Travel merambah bisnis perjalanan ibadah umrah di bawah bendera PT First Anugerah Karya Wisata.

28 Maret 2017

Kementerian Agama pertama kali memantau bahwa ada yang aneh dari model bisnis First Travel.

18 April 2017

Kementerian Agama melakukan klarifikasi, investigasi, advokasi, hingga mediasi dengan jemaah. Mulai terungkap ada jemaah yang merasa dirugikan karena di antara mereka ada yang sampai gagal tiga kali berangkat umrah. Saat dimintai kejelasan, manajemen First Travel selalu berkelit.

21 Juli 2017

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memerintahkan PT First Anugerah Karya Wisata menghentikan penjualan paket promonya karena ada indikasi investasi ilegal dan penghimpunan dana masyarakat tanpa izin.

9 Agustus 2017

Bareskrim Polri menetapkan direktur utama dan direktur First Travel Andika Surachman dan Anniesa Desvitasari Hasibuan sebagai tersangka. Saat itu terungkap First Travel mengelola uang jemaah lebih dari Rp905 miliar. Tapi ribuan jemaah tidak bisa berangkat umrah.

19 Februari 2018

Pengadilan Negeri (PN) Depok menggelar sidang kasus penipuan dan penggelapan dana jamaah umrah First Travel dengan tiga terdakwa, yakni Direktur Utama First Travel Andika Surachman, Direktur First Travel Anniesa Hasibuan, dan Direktur Keuangan First Travel Siti Nuraidah Hasibuan alias Kiki.

30 Mei 2018

PN Depok menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara kepada Andika, 18 tahun penjara kepada Anniesa, dan 15 tahun penjara kepada Kiki. Andika-Anniesa juga dihukum membayar denda masing-masing Rp 10 miliar subsider 3 bulan kurungan. Sementara aset First Travel diputuskan dirampas negara.

15 Agustus 2018

PT Bandung menguatkan vonis PN Depok.

31 Januari 2019

MA menolak kasasi Andika-Aniesa-Kiki. Putusan itu diadili ketua majelis Andi Samsan Nganro dengan anggota Margono dan Eddy Ermy. Andika-Anniesa diadili dalam nomor perkara 3096 K/Pid.Sus/2018 dan Kiki dengan nomor 3095 K/Pid.Sus/2018. Kasus itu masuk kualifikasi pencucian uang.

15 November 2019

Kejaksaan Negeri (Kejari) Depok menyatakan akan segera melelang aset yang dijadikan barang bukti kasus penipuan jamaah umrah First Travel.

Berita Terkini