Yakobus juga melihat perbedaan status sosial dan ekonomi berdampak pada perlakuan dan sikap seseorang. Praktek hidup orang yang memandang muka atau pilih kasih ini berkaitan erat dengan penilaian yang subjektif.
Hal ini tidak didasarkan pada keberadaan yang sesungguhnya. Perlakuan ini sangat diskriminatif. Cara ini bukanlah ciri khas hidup orang beriman. Orang beriman seharusnya tidak membedakan orang kaya atau orang miskin di dalam suatu komunitas. Itulah tanda kedewasaan rohani, dimana ia memperlakukan setiap orang sebagai sesama mahluk ciptaan Tuhan yang mulia.
Pengamalan iman tidak boleh dipengaruhi dan ditentukan oleh faktor-faktor berikut ini: ras, etnis, ekonomi, tingkat pendidikan, agama, pekerjaan dan lainnya. Hal-hal demikian hanyalah atribut lahiriah.
Menurut hukum Yahudi seharusnya cara berpakaian orang kaya sama sederhananya dengan orang miskin. Namun gaya hidup orang kaya waktu itu sangat bertolak belakang. Mereka merasa lebih berkuasa, menghina, menindas orang miskin bahkan melawan Allah.
Tidak sepantasnya mereka menerima penghormatan yang berlebihan. Hanya Tuhanlah yang berhak menerima penghormatan. Nasihat Yakobus ini bukan bermaksud menyepelekan orang kaya melainkan memberi penekanan bahwa perlakuan memandang muka adalah suatu tindakan yang berdosa. Sama halnya dengan dosa-dosa lainnya, yang merupakan pelanggaran terhadap hukum Allah.
Orang yang beriman adalah orang yang mengasihi. Keduanya harus berpadanan. Penegasan berkatalah dan berlakulah seperti orang-orang yang akan dihakimi oleh hukum yang memerdekakan orang, mengindikasikan sikap yang konsisten dari orang beriman. Kata dan perbuatan harus berjalan bersama.
Tidak boleh dipisahkan dan saling melengkapi. Orang yang berbelas kasihan terhadap sesamanya akan menang atas penghakiman.
Sebenarnya penekanan dari bacaan ini bukan pada orang kaya atau orang miskin. Esensinya adalah bagaimana seorang beriman mewujudkan imannya dalam keseharian. Tidak salah menjadi orang kaya dan bukan juga suatu keburukan kalau menjadi orang miskin. Semua manusia adalah ciptaan Tuhan dan harus mewujudkan imannya dalam interaksi sosial dengan sesamanya baik miskin atau kaya. Kekayaannya tidak menjadikannya semakin dekat dengan Allah begitu juga kemiskinan tidak menjauhkannya dari Allah.
Makna dan Implikasi Firman
Firman Tuhan merupakan pedoman hidup yang mengajarkan bahwa Tuhan Yesus adalah Tuhan semua orang. Hal ini harus menjadi landasan etik kristiani dalam kehidupan di tengah masyarakat yang majemuk.
Gereja dipanggil untuk melayani semua orang tanpa membeda-bedakan status sosialnya. Karena Allah menghendaki kehidupan yang harmonis dan sejahtera berkeadilan bagi manusia ciptaan-Nya.
Keluarga Kristen hendaknya mengamalkan iman dengan penuh kasih kepada siapapun juga. Tidak boleh bertindak diskriminatif dengan alasan status sosial atau isu SARA. Sikap membeda-bedakan (pilih kasih) merupakan pelanggaran terhadap hukum kasih. Jika kita melakukannya, kita berdosa. “Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa”.(Yakobus 4:17)
Menghargai dan menghormati sesama adalah wujud iman yang dewasa, itulah “eksistensi” orang beriman. Iman orang Kristen ini harus berwujud dalam tindakan, karena iman bekerjasama dengan perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna (Yakobus 2:22).
Tidak ada salahnya kalau kita menghargai dan menghormati pejabat atau atasan kita. Yang salah adalah jika kita mengkultuskan mereka. Terlambat memulaikan ibadah demi menunggu pejabat yang akan datang. Sebab hanya Tuhanlah yang harus dimuliakan.
Tidak ada salahnya menjadi orang kaya, sebab kekayaan adalah berkat Tuhan, yang salah adalah ketika kita menggunakan kekayaan untuk menindas dan memperlakukan orang miskin dengan semena-mena. Tidak ada salahnya kalau kita belum dapat memenuhi kebutuhan kita (“miskin”) namun bukanlah suatu kebenaran kalau kita berpura-pura miskin atau memiskinkan diri. Tapi yang benar adalah berusaha bangkit untuk menyejahterakan kehidupan.