Area tersebut yaitu meletakan KPK dibawa eksekutif, dimana KPK tidak lagi menjadi badan indepedent.
"Ini bisa memberikan legitimasi bagi eksekutif untuk membuat peraturan pemerintah, karena itu lembaga dirana eksekutif, demi menjalankan undang-undang sebagaiaman semestinya" jelas Refly.
Selain itu pelemahan lainnya yang dinilainya, saat pegawai KPK dijadikan ASN yang bertugas sebagai penyidik dan penyelidik.
"Kalau mereka membalelo paling tinggal dipindakan saja, beda dengan lembaga independent, hanya pegawai lingkup internal KPK," jelasnya.
Kemudian soal dewan pengawas KPK yang memiliki tiga fungsi.
Pertama, fungsi pengawasan yang dinilainya seperti bawaslu di pemilu.
Kedua, fungsi instansi pemberian izin menyadap, menggeledah dan menyita.
Ketiga dewan pengawas seperti (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI
(DKPPP) yang menyidangkan pelanggaran kode etik pimpinan KPK dan pegawai KPK.
"Kalau kita bicara adminitrasi pemerintahan, dimana-mana pegawai cukup ditindak oleh pimpinannya dalam hal ini pimpinan KPK atau Sekjen KPK. Yang jadi persoalan pimpinan dan pegawai disamakan yang bisa disidang kode etik oleh dewan pengawas KPK," jelasnya
"Jadi ini skenario besar melumpuhkan KPK,"tandasnya
Refly juga menyinggung soal tugas dan kewenangan Presiden.
Refly menyebut, dalam desain konstitusional Indonesia, Presiden memiliki 50 persen kekuasan legislatif.
Artinya tidak ada satu RUU yang bisa lolos, kalau presiden mengatakan tidak.
"Tidaknya Presiden itu banyak sekali tempatnya. Tidak untuk membahas, tidak untuk persetujuan, dan tidak untuk mengesahkan," ujarnya
"Kalau tidak untuk mengesahkan tidak ada gunanya karena 30 hari akan sah dan wajib diundangkan. Tapi tidak persetujuan Paripurna, membuat RUU tidak bisa diundangkan, dan lebih pangkal lagi tidak untuk membahasnya," pungkasnya.
(Tribunmanado.co.id/RhendiUmar)
TONTON VIDEO LENGKAPNYA
#Refli Harun Pastikan Revisi UU KPK Menghilangkan OTT: Itu Kecerobohan Luar Biasa