BPJS Kesehatan Akan Datangi Rumah Peserta yang 'Bandel'

Penulis: Tim Tribun Manado
Editor: Lodie_Tombeg
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Suasana pelayanan peserta JKN-KIS di kantor BPJS Kesehatan Cabang Manado, Selasa (21/08/2019).

Oleh karena itu, persoalan defisit keuangan BPJS Kesehatan harus diselesaikan secara bersama-sama khususnya antar pemerintah. Mulai dari penyelesaian data hingga keputusan untuk menyesuaikan iuran.

"Karena, sulit menyelamatkan BPJS, satu tahun itu asumsi tagihannya pada 2019 sebesar Rp 32 triliun, estimasi defisit harus ditutup dulu dan iuran baru bisa membantu BPJS Kesehatan di 2020," jelasnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan, iuran BPJS Kesehatan kelas mandiri I naik 100 persen mulai 1 Januari 2020 mendatang. Dengan kenaikan ini berarti, peserta yang tadinya membayar iuran Rp 80 ribu akan naik menjadi Rp 160 ribu per orang per bulan.

Untuk peserta kelas mandiri II, diusulkan agar iuran dinaikkan dari Rp 59 ribu per bulan menjadi Rp 110 ribu. Sementara, peserta kelas mandiri III dinaikkan Rp 16.500 dari Rp 25.500 per bulan menjadi Rp 42 ribu per peserta.

Sri Mulyani beralasan kenaikan iuran ini akan membuat kinerja keuangan BPJS Kesehatan semakin sehat. Hitungannya, kalau kenaikan iuran dilakukan sesuai usulan Kementerian Keuangan dan mulai diberlakukan 1 Januari 2020, kondisi keuangan BPJS Kesehatan yang selama ini defisit bisa berbalik menjadi surplus Rp 17,2 triliun.

Baca: Api Bakar Habis Puskesmas dan 3 Rumah

Sementara itu Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Partai Golkar, Muhammad Sarmuji mendesak pemerintah mencari penyebab utama defisit BPJS sebelum menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Pemerintah juga diminta menghitung berapa defisit akibat kurangnya iuran Premi peserta BPJS Kesehatan.

Ia menilai jebolnya keuangan BPJS tidak hanya disebabkan oleh kurangnya iuran Premi peserta BPJS. Namun, juga terdapat  faktor lain berupa kecurangan dari pihak rumah sakit dan peserta mandiri yang menunda pembayaran premi.

"Kenaikan kalau bisa yang rasional dan tidak boleh terlalu membebani kenaikannya. Penyebabnya dulu diatasi," ucap Sarmudji. Ia juga menyoroti data BPJS yang masih bermasalah.  Sarmuji mengungkapkan, ketika dirinya mendapatkan Penerima Bantuan Iuran (PBI).

Padahal, seharusnya itu diperuntukan bagi kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. "Saya saja dapat PBI, tapi saya mengundurkan diri. Salah satu faktornya, (data penerima PBI) mungkin yang harus diselesaikan oleh Pemerintah," ujarnya.

Kendati demikian, Sarmuji tidak memberikan pernyataan yang tegas, berapa seharusnya nilai kenaikan yang ideal iuran premi peserta BPJS. Ia hanya menginginkan kenaikan iuran tidak membebani masyarakat dan tidak menambah defisit BPJS yang tiap tahun semakin kronis.

"Kami belum bisa justifikasi angkanya berapa, kita tanya Pemerintah dulu berapa yang benernya disebabkan oleh kurangnya iuran. Masalah kecurangan, ada peserta yang tidak membayar Iuran. Itu semua harus diselesaikan dulu," pungkasnya.

Bentuk Pansus

Komisi XI dan Komisi IX DPR RI berencana membentuk panitia khusus (Pansus) terkait persoalan defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Anggota Komisi XI DPR RI Ahmad Hatari mengatakan, rencana pembentukan Pansus itu lantaran adanya dugaan manipulasi data gaji yang dilakukan oleh ribuan perusahaan untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan.

Temuan ini diduga menjadi penyebab defisit BPJS yang diperkiran mencapai Rp 32,8 triliun di tahun 2019.  Selain itu, hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyebut sebanyak 2.348 perusahaan memanipulasi data gaji karyawannya kepada BPJS Kesehatan.

"Jadi merujuk kepada data BPKP tadi bahwa kami akan rundingkan komisi IX dan komisi XI, perlu membentuk Pansus untuk mengkaji ini lebih dalam," kata Ahmad Hatari.

Halaman
123

Berita Terkini