Berita Inspirasi

Kisah Nenek 101 Tahun Pembuat Cobek, Hanya Dihargai Rp 1.000 dan Harus Ngutang Dulu Sama Pengepul

Editor: Indry Panigoro
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mbah Sarni, warga Desa Ngunut, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, pembuat gerabah sejak zaman perang kemerdekaan.

TRIBUNMANADO.CO.ID - Mbah Sarni masih gesit mengayuh meja kecil berputar di depannya yang berisi adonan tanah liat berwarna hitam pekat.

Tangannya yang sudah keriput dan menua, juga cekatan mencelupkan lap basah untuk membentuk tanah liat di tengah meja bulat yang terus berputar.

Ya meski usianya telah menginjak 101 tahun, Mbah Sarni, warga Desa Ngunut, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, tetap giat beraktivitas.

Mbah Sarni adalah seorang pembuat gerabah.

Dan pekerjaan ini telah dijalaninya sejak zaman perang kemerdekan.

“Sudah dari mbahnya simbah dulu kami membuat gerabah. Saya selesai sekolah SR sudah membuat gerabah. Sekarang anak saya yang melanjutkan, karena inilah pekerjaan kami,” ujarnya, Minggu (30/6/2019).

Baca: Kisah Prajurit Kopasus Tersesat 25,920 Menit di Hutan, Selamat Meski Tinggal Tulang Dibungkus Kulit

Baca: Kisah Prajurit Kopasus Tersesat 25,920 Menit di Hutan Ketinggian 4.000 Meter di Atas Permukaan Laut

Baca: Kisah Pramugari asal Bolmong yang Jadi Istri ke-5 Presiden Soekarno, Terima Cinta di Tempat Ini!

Ia menuturkan, dulu membuat gerabah adalah pekerjaan bergengsi, karena semua peralatan memasak di dapur menggunakan gerabah, mulai dari tungku hingga wajan.

"Dulu buat dandang, kuali, kendil, wajan, anglo, semua kami bikin. Tapi sekarang hanya bikin cobek karena hanya itu yang laku,” imbuhnya.

Sambil bercerita, tangan kiri Mbah Sarni merapikan bentuk cobek dengan sebuah plastik pipih sehingga permukaan cobek lebih licin.

Selain membuat gerabah, Sarni juga mengaku menjual sendiri gerabah hasil karyanya berkeliling desa hingga kota tetangga dengan menggunakan sepeda onthel.

Bahkan untuk berjualan keliling, Sarni mengaku harus menginap dari kampung ke kampung.

"Dulu keliling pakai sepeda onthel dari kampung ke kampung.Ke Pasar Magetan ke Pasar Plaosan. Kalau jualan bisa empat hari sampai susunan gerabah di sepeda habis. Disusun tinggi itu gerabah di belakang sepeda,” ucapnya.

Meski telah menikah memiliki delapan anak, Sarni tetap setia menekuni pembuatan gerabah bahkan hingga semua anaknya menikah.

Saat ini, Sarni dibantu anak bungsunya Karniem (65) masih tetap setia mengayuh perbot (meja berputar untuk membentuk tanah liat) untuk membuat cobek.

“Bisanya bikin gerabah dari kecil, tidak bisa bertani. Kalau masak ya nempur (beli beras),” terangnya.

Halaman
123

Berita Terkini