Sebab, ia tak tertarik dengan Ainun.
"Saya tidak ada alasan karena saya tidak interest," ucap dia.
Karena kerap dijodohkan seperti itu, ia pun suka mengejek Ainun dengan sebutan gendut dan jelek.
"Saya bilang, 'Jawa, gendut, jelek. Kamu kok hitam kayak gula Jawa'," kata Habibie.
Meski begitu, Ainun tak pernah marah dipanggil dengan sebutan-sebutan itu.
"Ya hebatnya Ainun, dia enggak marah. Karena dia enggak marah, itu yang namanya Habibie malu," ucapnya.
Skenario ibunda
Tak sampai satu tahun Habibie menganyam pendidikan di Institut Teknokogi Bandung (ITB), ia melanjutkan pendidikan ke Jerman.
Sewindu tak bertemu Ainun, ia pulang ke Tanah Air.
Ibunda Habibie kemudian mengajaknya ke rumah Ainun.
Habibie sempat malu karena sempat menyindir Ainun dengan sebutan "gendut, hitam dan jelek".
Padahal, keluarga Ainun sangat baik padanya.
Rupanya, sang ibu khawatir Habibie memadu kasih dengan perempuan Eropa.
"Ibu saya punya program sendiri. Yaitu si Rudy (panggilan Habibie) daripada ketemu orang-orang bule dan dia gitu (pergaulannya)," kata dia.
Pada saat itulah Habibie kembali bertemu dengan Ainun.
Ia sempat kaget melihat Ainun yang lebih cantik daripada Ainun yang dikenalnya sebelumnya.
"Ainun, cantiknya. Kok gula Jawa jadi gula pasir," ucap Habibie. Pernyataan itu pun disusul tawa penonton yang hadir di studio.
Malam yang Menyatukan Batin
Malam itu, Hasri Ainun begitu memukau di mata Bacharuddin Jusuf Habibie.
Malam itu, tanggal 9 Maret 1962, tepat pada hari raya Idul Fitri.
Habibie awalnya ingin mengajak Ainun untuk menonton film di bioskop.
Namun, cuaca Bandung, kala itu, demikian cerah.
Habibie pun mengajak Ainun berjalan kaki, ke mana saja.
"Saya ajak Ainun berjalan kaki dari rumah di Jalan Rangga Malela ke Kampus Fakultas Teknik Universitas Indonesia, sekarang ITB, melewati bekas sekolah kami di Jalan Dago dan kembali ke Rangga Malela," tutur Habibie dalam bukunya berjudul Habibie dan Ainun.
Kurang lebih satu jam berjalan kaki, Habibie bertanya, "Ainun, maafkan sebelumnya, jikalau saya mengajukan pertanyaan yang mungkin dapat menyinggung perasaanmu. Saya tidak bermaksud mengganggu rencana masa depanmu. Apakah Ainun sudah memiliki kawan dekat?" Ainun terdiam.
Habibie mengulangi pertanyaannya.
Kali ini, ia menambah kalimatnya dengan penekanan pentingnya ketulusan mengemukakan isi hati kami, apa adanya.
Ainun masih terdiam.
Dia kemudian menghentikan langkah dan menatap mata Habibie dalam-dalam.
Ainun menjawab, "Saya tidak memiliki kawan atau teman dekat dan khusus."
Habibie berdebar kencang mendengar kalimat Ainun.
Mata mereka beradu.
Saling menggetarkan hati sama lain, khususnya Habibie yang tujuh tahun memendam rindu bertemu Ainun karena harus bersekolah di Jerman.
Tanpa disadari, waktu pun berlalu.
Masih di malam itu, langkah Habibie dan Ainun membawa kembali ke rumah Jalan Rangga Malela.
Masih banyak tamu dan beberapa pemuda duduk di depan rumah.
Mereka memperhatikan kedatangan Habibie dan Ainun.
"Sejak itu, saya secara batin tidak pernah berpisah dengan Ainun dan demikian pula Ainun dengan saya..."
Doa Habibie di Akhir Hidup Ainun
"Ainun, tahukah hari ini hari apa?" Habibie bertanya.
Ainun mengangguk.
"Hari pernikahan kita selama enam windu atau 48 tahun," ujar Habibie.
Ainun kembali mengangguk sembari tersenyum.
Memandang Habibie dengan wajah cerah, tetapi aura sedihnya tetap tidak dapat disembunyikan.
Habibie kemudian mencium bibir Ainun sembari berbisik, "Saya selalu akan mendampingimu di mana pun kamu berada. Jiwa, roh, dan batin kita sudah menyatu dan manunggal sepanjang masa." Ainun terdiam.
Air matanya menetes diiringi senyum.
Demikian penggalan momen yang Habibie tuliskan dalam buku Habibie dan Ainun yang dikutip, Minggu (14/2/2016).
Momen itu terjadi pada Rabu, 12 Mei 2010, tepat pukul 10.00 WIB, di ruang ICCU, tempat Ainun dirawat selama sekian waktu.
Tumor ganas terus menjalar dan menggerogoti kesehatan Ainun.
Doa Habibie kemudian memanjatkan doa.
Berikut kutipan doa itu :
"Terima kasih Allah, ENGKAU telah lahirkan saya untuk Ainun dan Ainun untuk saya.
Terima kasih Allah, ENGKAU telah pertemukan saya dengan Ainun dan Ainun dengan saya.
Terima kasih Allah tanggal 12 Mei 1962 ENGKAU nikahkan saya dengan Ainun dan Ainun dengan saya.
ENGKAU titipi kami Bibit Cinta murni, sejati, suci, sempurna dan abadi.
Sepanjang masa kami sirami titipanMU dengan Kasih Sayang, nilai Iman, Takwa dan Budaya.
Kini 48 tahun kemudian, Bibitt Cinta telah menjadi Cinta yang paling indah, Sempurna dan Abadi.
Ainun dan saya bernaung di bawah Cinta milikMU ini dipatri menjadi manunggal sepanjang masa. Manunggal dalam Jiwa, Hati, Batin, Nafas dan semua yang menentukan dalam kehidupan.
Terima kasih Allah, menjadikan kami Manunggal kami sepanjang masa.
Berilah kami kekuatan mengatasi segala permasalahan yang sedang dan masih akan kami hadapi.
Ampunilah dosa kami dan lindungilah kami dari segala pencemaran Cinta Abadi kami."
Kata demi kata Habibie diperhatikan betul oleh Ainun dan ia menganggukkan kepalanya setiap Habibie menyelesaikan kalimat per kalimat.
"Sambil mengelus kepala Ainun, kami ulangi bersama doa yang sebelumnya saya bisikkan di telinganya.
Bibir Ainun bergetar memanjatkan doa kami, kata demi kata dengan mata air berlinang.
Saya harus menahan diri dan dokter dan perawat yang kebetulan masuk ke kamar, diam dan penuh pengertian segera meninggalkan kami berdua," tulis Habibie. (Kompas.com/Tribunnews)