Polemik Pasal Tipikor di RKUHP: Pemerintah, DPR dan KPK Masih Beda Pendapat

Penulis: Tim Tribun Manado
Editor: Lodie_Tombeg
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Rapat di DPR RI

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengakui masih ada sejumlah perbedaan pandangan terkait sejumlah pasal delik tipikor dalam rapat dengan pemerintah ini. Di antaranya melemahnya sanksi terthadap pelaku tindak pidana korupsi terkait Pasal 2, 3, 5 dan Pasal 11. "Ya di antaranya soal perbedaan sanksi, tentang masuknya sebagian pasal Undang-undang Tipikor ke ketentuan umum, RKUHP," ujarnya.

Laode menilai pengaturan tipikor dalam RKUHP akan menimbulkan dualisme hukum atau ketidakpastian hukum dan menyulitkan aparat penegakan hukum dalam menuntaskan perkara korupsi. Selain itu ancaman pidana dan denda cenderung menurun drastis. Pidana tambahan berupa uang pengganti pun tidak diatur secara jelas dalam RKUHP. Padahal, sumber terbesar pemulihan kerugian negara akibat korupsi berasal dari uang pengganti.

ia juga menilai penjelasan yang diberikan pemerintah terkait pengaturan delik tipikor dalam RKUHP adalah membingungkan. Ia menilai penjelasan pemerintah sama sekali tak memasukan usulan KPK dan malah menimbulkan banyak pertanyaan.

"Contohnya ada beberapa pasal yang diatur dalam Undang-undang Tipikor dan KUHP. Jadi mana yang berlaku? Katanya mereka memperlakukan itu adalah yang lex specialis, yaitu Undang-undang Tipikor. Tetapi ada juga asas hukum yang lain kan," kata Laode.

Asas hukum yang dimaksud Laode yakni lex posterior derogat legi priori yang berarti hukum yang baru menggantikan hukum yang lama. Dengan demikian, begitu berbagai ketentuan pidana korupsi dalam RKUHP disahkan, maka bisa mengesampingkan ketentuan pidana dalam UU Tipikor. Padahal, menurut Laode, ketentuan pidana dalam UU Tipikor lebih efektif untuk memberantas korupsi daripada ketentuan yang diusulkan dalam RKUHP.

Laode menyatakan pihaknya bersedia melakukan pertemuan lanjutan usai Hari Lebaran untuk membahas sejumlah perbedaan pendapat ini. "Nanti sehabis Lebaran kami bicarakan,' ujarnya.

Agus Rahardjo mengatakan, masih perlu harmonisasi atas rencana pemerintah dan DPR yang ingin memasukkan pasal-pasal delik tipikor ke dalam RKUHP tersebut.

Ingin Bicara dengan Jokowi

Ketua KPK Agus Rahardjo menegaskan pihaknya tetap berharap pihaknya bisa bertemu dan bicara dengan Presiden Joko Widodo untuk membahas masalah dimasukkannya delik tipikor yang bersifat kendur ke dalam RKUHP ini. KPK tetap pada menolak pasal tipikor masuk dalam RKUHP karena berisiko melemahkan pemberantasan korupsi.

"Kami masih seperti dalam posisi itu ya. Ya kami kalau diizinkan akan berkomunikasi dengan bapak Presiden langsung. Mudah-mudahan," ujarnya.

Agus belum bisa memastikan kapan realisasi pertemuan KPK dengan Presiden Jokowi.  KPK masih menunggu kabar dari pihak Istana Negara setelah mengirimkan surat beberapa hari lalu. "Belum tahu. Kita harus nunggu jadwalnya Bapak Presiden juga," ujarnya.

Agus menyatakan pihaknya merasa perlu untuk menyampaikan pandangan dan penjelasan kepada Presiden Jokowi perihal masalah ini mengingat adanya risiko terhadap KPK di masa depan. Ia berharap Presiden Jokowi sependapat dengan KPK meski hal itu tidak bisa dipaksakan . "Belum tentu. Nanti kita jelaskan," ucapnya.

Ia meminta publik untuk terus memantau proses penggodokan RKUHP dan hasilnya ini. "Nanti kamu kawal saja yang ketat," ujarnya.

Disebut Operasi Senyap

Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Maneger Nasution, mendorong Presiden Joko Widodo dan DPR untuk mengeluarkan pasal korupsi dari Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bagi Muhammadiyah, kata Maneger, kodifikasi pasal korupsi dalam RKUHP merupakan strategi untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui peraturan perundang-undangan.

Halaman
123

Berita Terkini